In brief, this post is about being 'stranded' in Talaud Island, North Sulawesi, Indonesia. I wasn't stranded for real, but Talaud is a remote island that I could relate some experiences with being stranded.
“Hei, Kak, ambil ini ikannya, buat kamu. Ya, ambil saja..,”
seru seorang wanita kepada beberapa orang yang hilir mudik di depannya. Ia
berdiri di samping kantung-kantung plastik biru yang masing-masing berisi empat
ekor ikan tude, siap untuk dibagi-bagikan.
Selama ini, yang saya tahu, nelayan menangkap ikan untuk
dijual ke masyarakat. Lalu, kenapa wanita tadi malah membagikannya dengan
cuma-cuma?
“Ini buat kampanye, Kak,” sahut wanita itu, ketika saya
menanyakannya langsung. “Saya bagikan empat masing-masing orang, supaya nanti
mereka coblos nomor 4!”
Oalah, ternyata
ini bagian dari kampanye pemilihan caleg! Saya dan teman saya, Mumun, tak bisa
menahan tawa takjub. Membayar pemilih dengan uang, sih, kami sudah sering
dengar. Nah, barter dengan ikan, ini hal baru bagi kami!
“Konsepnya kuat! Pilih nomor 4, ya ikannya juga empat ekor!
Repot juga, ya, kalau partainya nomor 17, misalnya. Bisa bangkrut!” saya
berkilah, yang disambut tawa Mumun.
Kala itu matahari masih sekitar 50 derajat kemiringannya,
menerangi pasar tradisional yang terletak di tepi pantai desa Beo, Pulau
Talaud. Para nelayan kembali dari laut membawa tumpukan ikan di perahu mereka.
Para penduduk desa, termasuk anak-anak, mengerumuni perahu-perahu itu, berebut
ikan-ikan yang paling segar dan besar untuk diborong.
Suasana pasar ramai sekali, mungkin karena hari itu hari
Minggu. Ada yang sibuk berdagang dan memilih-milih sayur segar, ada pula yang
sekadar melihat-lihat dan bersosialisi di tepi pantai sambil memperhatikan
hasil tangkapan nelayan pagi itu. Beberapa ekor babi dan anjing pun ikut
meramaikan suasana, mengais-ngais makanan dari hamparan sampah di tepi pantai.
Seorang nelayan melintasi hamparan sampah itu seraya menggotong seekor penyu di
atas kepalanya. Ukuran penyu sekitar 50 sentimeter diameter cangkangnya.
“Penyu ini untuk dimakan, Pak?” tanya Mumun, miris.
Bagaimana tidak miris, karena setahu kami, jumlah penyu di dunia sudah semakin
menyusut dan termasuk hewan yang dilindungi.
“Ah, nggak. Ini
untuk anak saya di rumah. Jadi teman main,” jawab bapak itu santai, membuat
kami semakin miris. Anaknya yang masih sekitar usia sepuluh tahun menyambut
sang ayah dengan gembira. Mungkinkah sosialisasi bahwa penyu hewan dilindungi
belum sampai ke Kabupaten Kepulauan Talaud ini? Walaupun gatal sekali rasanya
ingin memberi tahu, tapi kami berusaha tahu diri. Kami hanya tamu yang singgah
di pulau ini selama beberapa hari. Tahu apa kami tentang cara hidup dan
kebutuhan masyarakat di sini?
Lalu kami hendak meninggalkan pasar untuk mencari kedai.
Perut mulai keroncongan karena tadi pagi tidak sempat sarapan. Kami melewati
pangkalan bentor – becak dan motor yang digabungkan menjadi satu kendaraan – di
jalan keluar dari pasar. Para pengemudi bentor menawarkan jasanya, tapi kami
putuskan untuk berjalan kaki saja. Selain ingin menikmati suasana Desa Beo,
kami pun ingin berhemat. Pasalnya, kami tak tahu akan sampai kapan kami berada
di pulau terpencil ini. Bagaimana kalau ternyata kami kehabisan uang sebelum
bisa pulang ke Jakarta?
Biaya hidup di Pulau Talaud cukup tinggi. Makan di kedai sederhana
semacam warteg, dengan menu nasi putih, ayam bakar, dan lalap, total mencapai
Rp 25.000,00. Di warteg-warteg di Jakarta, menu yang serupa bisa hanya dihargai
setengah atau dua pertiganya.
Dulu saya mengira, semakin kecil suatu kota atau daerah,
semakin murah pula biaya hidupnya. Setelah semakin sering melanglang di
nusantara, saya menyadari bahwa perkiraan saya itu salah. Ternyata, ada faktor akses.
Semakin sulit suatu tempat diakses dari pusat komoditi, akan semakin tinggi
segala biaya di situ.
Beberapa hari kemudian, saat kami berada di pelabuhan Beo,
kami melihat kendala akses tersebut secara nyata. Tak terhitung penumpang yang
menggotong berbagai keperluan sehari-hari dari Manado, seperti berkarung-karung
bawang putih, cabai, mainan anak-anak, hingga barang-barang besar seperti mesin
cuci, kulkas, motor, bahkan pagar besi! Jangan kira mereka bisa membawa
barang-barang itu kapan saja mereka mau. Jadwal kapal berlayar hanya sekitar
dua kali per minggu, dengan waktu tempuh sekitar 17 jam antara Beo dan Manado,
atau 15 jam antara Melonguane dan Manado. Ruangan penumpang terbanyak merupakan
semacam bangsal dengan tempat tidur bertingkat yang dilapisi matras tipis,
tanpa pendingin ruangan, dan bebas merokok di mana saja. Kamar-kamar eksekutif
tersedia, dilengkapi pendingin ruangan, namun harga tiketnya hampir Rp
500.000,00 per orang, dua kali lipat tiket ekonomi alias ruangan bangsal tadi.
Naik pesawat? Bisa, tapi tidak tiap hari ada penerbangan.
Kami mencapai Melonguane naik pesawat baling-baling dari Manado. Hanya ada dua
maskapai yang melayani rute tersebut, Wings Air dan Express Air. Jadwalnya
jarang seperti gigi bayi berumur satu tahun, hanya sekitar dua kali bolak-balik
per minggu untuk tiap maskapai. Harga tiketnya pun tidak murah, sekitar Rp
750.000,00 per orang.
Dengan akses terbatas seperti itu, wajar saja harga-harga
melambung di Talaud. Bensin Rp 12.000,00 atau Rp 13.000,00 per liter,
bandingkan dengan Rp 6.500,00 per liter di Jakarta. Kebayang, kan, kalau harga bensin saja sudah mahal, apalagi yang
lain-lainnya? Walau begitu, tak sekalipun saya mendengar keluhan dari warga
yang berinteraksi dengan kami, tidak seperti supir taksi di Jakarta yang kerap
mengeluhkan kemacetan atau pekerja kantor yang sering mengeluhkan pekerjaannya
walaupun gaji selalu masuk ke rekening tepat waktu.
Pulau Talaud ini pulau terbesar di Kepulauan Talaud, di
utara Pulau Sulawesi. Mungkin kebanyakan orang Indonesia lebih sering mendengar
nama Sangihe Talaud, yaitu nama dua kepulauan di perbatasan antara Indonesia
dan Filipina, atau mendengarnya di jingle
iklan salah satu produk mi instan. Mungkin juga, lebih banyak lagi orang
Indonesia yang belum pernah mendengar tentang keberadaan kedua kepulauan kecil
ini. Tak heran, karena daerah ini memang jauh dari mana-mana, dan rasanya jarang
disebut dalam buku pelajaran sekolah. Mencari informasi tentang pulau ini di
Internet maupun di buku Lonely Planet merupakah sebuah tantangan berat! Sedikit
sekali informasi yang tersedia.
Lalu, untuk apa saya jauh-jauh ke Talaud?
Persis pertanyaan yang sering ditanyakan penduduk setempat
pada saya dan Mumun. Mulai dari penjaga toko kelontong sampai pegawai Dinas
Pendidikan yang ngobrol dengan kami saat
makan siang di suatu kedai, hampir semua orang yang berinteraksi dengan kami
menanyakan sedang apa kami di Talaud. Pertanyaan itu biasanya muncul setelah
menanyakan asal kami. Mereka yakin betul bahwa kami bukan orang Talaud asli,
dari logat bicara, dan kebiasaan memotret hampir semua objek yang kami lihat.
“Jalan-jalan aja,
kok,” saya dan Mumun bergantian menjawab pertanyaan yang itu-itu lagi.
“Ada penelitian?” Si penanya biasanya mengira demikian.
“Nggak, cuma
jalan-jalan aja,” tak lupa kami
imbuhkan senyuman termanis.
“Oh, mahasiswa, bukan? Sedang KKN?” Walaupun itu berarti
kami terlihat sangat awet muda, tapi tetap mereka tidak percaya bahwa kami ke
Talaud hanya untuk jalan-jalan.
Rupanya hampir tidak ada orang yang datang jauh-jauh dari
Jakarta ke Talaud hanya untuk melancong. Kebanyakan orang datang ke Talaud
untuk keperluan pekerjaan, penelitian, KKN, atau untuk tinggal permanen dan
mencari penghidupan. Namun, bagi saya, tak masalah suatu tempat itu sejauh
apapun, kalau memang ada kemauan, dana, dan waktu, saya akan berusaha
mencapainya, walaupun itu hanya untuk menjawab rasa penasaran saya akan suatu
tempat yang belum pernah saya kunjungi.
Kepulauan Talaud sudah membuat saya penasaran sejak
bertahun-tahun. Kalau ditanya kenapa, saya tak punya jawabannya. Rasanya, rasa
penasaran tidak selalu ada alasannya. Ingin tahu, ya ingin tahu. Tindakannya
cuma satu, mencari tahu. Kebetulan sekali ada ajakan untuk menyelam di Bunaken
bersama empat orang teman lainnya. Spontan saya meyakinkan Mumun untuk
meneruskan perjalanan ke Talaud, mumpung Bunaken sudah dekat sekali, sama-sama
di Provinsi Sulawesi Utara. Mumun yang memang selalu mudah diajak ke mana-mana,
tak pakai pikir panjang lagi, langsung bersetuju untuk ikut ke Talaud.
Rasa penasaran itu juga yang sempat membuahkan rasa tegang
di malam pertama kami menginap di Melonguane. Ketika sedang nikmat melahap ayam
goreng di suatu kedai makanan Jawa, saya menerima telepon dari suami saya,
Diyan, di Jakarta.
“Vi, aku baca berita, ada tsunami warning, efek dari gempa bumi di Chili. Talaud juga kena warning,” nada suaranya sangat datar di
ujung telepon. Wah. Itu nada suaranya yang paling mengkhawatirkan karena itu
nada suaranya jika sedang khawatir. Kemudian Diyan meminta saya dan Mumun agar
menjauhi laut sebisa mungkin. Namun, bagaimana mungkin? Penginapan kami saja di
tepi pantai, Hotel Pantai Mutiara yang teras belakangnya berbatasan langsung
dengan laut. Saya pun jadi khawatir. Bukan hanya keselamatan saya dan Mumun
yang saya khawatirkan, tapi juga perasaan suami, orang tua, dan kakak-kakak
saya yang tentu akan bersedih jika terjadi apa-apa dengan saya. Itu malam
pertama kami di Talaud, tapi sempat rasanya saya ingin langsung pulang saja ke
Manado lalu Jakarta.
Setelah berdiskusi, Mumun dan saya memutuskan untuk tetap
bermalam di Hotel Pantai Mutiara. Di kamar, kami memantau running text salah satu TV berita. Menurut media nasional itu, peringatan
tsunami hanya berlaku untuk Papua dan
Maluku. Sedikit lega, dan akhirnya saya bisa tertidur sekitar pukul 10 malam,
tetap dengan hati waswas.
Pukul 6 pagi saya sudah terbangun. Bergegas saya keluar
kamar dan melihat situasi. Ibu pemilik hotel tengah menyapu lorong kamar,
anaknya yang masih balita berlari-lari riang di halaman. Melongok ke teras
belakang, saya lihat laut nampak tenang, tak ada yang lain dari biasanya. Saya
memang bukan ahli kelautan yang mengerti tanda-tanda tsunami, tapi setidaknya
perasaan saya saat itu mengatakan cuaca akan baik-baik saja.
Sampai akhirnya lewat dari pukul 7.30 pagi, waktu yang
diperkirakan BMKG akan terjadi tsunami di Talaud. Tidak ada apapun yang nampak
berbahaya di laut. Fiuh! Bukan main leganya. Mungkin kejadian ini tidak ada
apa-apanya dibandingkan ‘near death
experience’ yang sering saya tonton di film-film. Namun, kejadian itu saja
cukup membuat saya menjadi lebih bersyukur akan hidup dan orang-orang yang
menyayangi saya.
Karena keadaan sudah aman, kami melanjutkan hari dengan
menyeberang ke Pulau Sara Besar, seperti yang sudah direncanakan. Menyeberang
ke sana diperlukan waktu sekitar 30 menit dengan kapal cepat ala kadarnya. Pulau
tak berpenghuni ini memiliki pantai putih bersih yang aduhai dan air yang
jernih dengan permukaan berwarna gradasi dari hijau toska ke biru tua. Inilah pantai
yang pasti bisa menggoda turis dari mana pun untuk ingin berlibur ke sana,
kecuali yang takut kulitnya menghitam. Disebut Sara Besar karena tak jauh dari
situ terdapat pulau serupa dengan ukuran lebih kecil, Pulau Sara Kecil.
Pulau Sara Besar biasa menjadi destinasi liburan masyarakat
Talaud, tapi tidak ada penyewaan peralatan snorkeling
di sana. Untung saja kami membawa peralatan sendiri dari Jakarta. Walaupun kami
menemukan beberapa sampah di dasar laut, seperti botol plastik dan bungkus
kudapan, secara keseluruhan pantai Sara Besar masih sangat bersih. Airnya pun
relatif tenang di pagi itu, hanya ada sedikit arus.
Melihat ini, saya tak heran bahwa Kepulauan Talaud disebut paradiso oleh orang Belanda di masa kolonial.
Entah itu istilah dari bahasa apa, tapi artinya paradise alias surga. Belum lagi hasil pala, kayu manis, dan kelapa
yang tumbuh subur di tanah Talaud. Betapa kepulauan ini adalah surga bagi bisnis
VOC!
Berada di pulau terpencil ini, dengan segala kelebihan dan
kekurangannya, rasanya seperti terdampar di tanah antah-berantah. Jauh dari
sanak-saudara, teman-teman, tidak ada mal, tidak ada asap busuk dari knalpot Kopaja.
Terlebih lagi, komunikasi dengan dunia luar pun sangat terbatas. Sinyal GSM
yang selamat sampai di Talaud hanyalah Telkomsel.
Selama berada di sana, saya yang terbiasa mengakses media
sosial hampir setiap saat, harus bersabar menunggu linimasa Twitter saya
terperbarui, sampai pada suatu titik saat saya tidak lagi berusaha membukanya. Hanya
terdapat satu dua warnet di Melonguane dan Beo, dengan koneksi Internet yang payah.
Pantas saja saya tidak mendengar pembicaraan tentang tsunami dari penduduk
lokal. Mungkin mereka tidak tahu sama sekali adanya kabar tersebut, yang memang
hanya beredar di media sosial. Kalau sudah begitu, saya pun tidak tahu, apakah
keterbatasan komunikasi merupakan sesuatu yang merugikan karena menghambat kita
untuk lebih waspada, atau justru menguntungkan karena tidak sampainya isu yang
hanya membuat panik?
Di luar semua itu, saya merasa disambut dengan baik di
Talaud karena keramahan penduduknya. Mereka memang heran kenapa saya ke situ,
tapi sepertinya tidak ada yang curiga macam-macam. Banyak yang mengajak ngobrol, terutama sesama perantau dari
Jawa dan Sumatra. Saya bisa merasakan antusiasme mereka berbicara dengan kami,
semacam ada rasa rindu mereka terhadap kampung halaman. Seorang bapak tua
bahkan sengaja mengajak kami berkenalan di toko kelontong, ketika ia mendengar
kami bercakap-cakap dengan pemilik toko. Ia pun kemudian bercerita panjang
lebar mengenai kisahnya terdampar di Talaud hingga akhirnya menetap sampai 32
tahun.
Saya suka berada di Talaud. Terlepas dari isu tsunami yang
sempat membuat resah, terdampar di pulau ini memberikan banyak kejutan menyenangkan.
Saya menikmati keindahan alam, menemukan cara berkampanye caleg yang unik, merasakan
keramahan penduduk, dan melihat sikap menerima hidup apa adanya. Rasanya ingin
sering-sering terdampar di tempat seperti ini!
iya kak..kamu masih muda kaya mahasiswa..
ReplyDeletehahahaha... garis bawahi! *lost focus abis2an*
DeleteItu biru airnyaaaaa ^o^.. Ya ampuuunnn... bikin pgn nyemplung
ReplyDelete"surga" banget deehh... panas banget tapi lhoooo, bikin gosong! hahaha
DeleteKak ... tempat pelelangan ikan itu kotor banget yaa, banyak sampai di pantai nya. Tolong dibersihin yaa lain kali #dikeplak
ReplyDeleteiya Kak, begitulah keadaannya.. makanya banyak anjing dan babi liar main-main di persampahan itu sambil cari mamam.. lain kali kak cumi ke sana deh bawa sapu sama pengki ya.. :)))
Delete