Kalau milihnya bener, sebagian kaos-kaos murah di Hanoi ini benar-benar nyaman dipakai! |
“Bawain oleh-oleh, ya!” ~ Ini kalimat yang sering saya
dengar sebelum bepergian keluar kota, terutama dari teman-teman yang jarang
bepergian.
“Eh, udah pulang! Oleh-olehnya mana?” ~ Ini sering saya
dengar sepulang bepergian, belum tentu dari orang yang sama dengan yang
mengatakan kalimat pertama.
Sempat ada masa saya kesal dan terbebani dengan ucapan ini.
Pertama, karena saya harus meluangkan waktu untuk membeli oleh-oleh, yang seharusnya bisa saya gunakan untuk menjelajahi destinasi lebih banyak lagi. Kedua, karena saya harus mengeluarkan uang lebih untuk membeli oleh-oleh, padahal biasanya dana jalan-jalan itu pas-pasan. Ketiga, karena biasanya yang minta oleh-oleh ada banyak, bukan cuma seorang, yang berarti alasan pertama dan kedua pun jadi berlipat ganda.
Pertama, karena saya harus meluangkan waktu untuk membeli oleh-oleh, yang seharusnya bisa saya gunakan untuk menjelajahi destinasi lebih banyak lagi. Kedua, karena saya harus mengeluarkan uang lebih untuk membeli oleh-oleh, padahal biasanya dana jalan-jalan itu pas-pasan. Ketiga, karena biasanya yang minta oleh-oleh ada banyak, bukan cuma seorang, yang berarti alasan pertama dan kedua pun jadi berlipat ganda.
Lama-lama saya ngeh,
ternyata orang-orang yang minta dibawakan oleh-oleh biasanya cuma basa-basi.
Ini terlihat dari reaksinya ketika saya tidak membawakan oleh-oleh; mereka acuh
tak acuh, paling-paling cuma berkomentar, “Eh, udah pulang!” Lalu saya bingung.
Kalau tidak benar-benar mengharapkan oleh-oleh, kenapa mesti bilang minta
oleh-oleh?
Pernah juga saya membawakan oleh-oleh untuk sekelompok teman
(karena biasanya kalau ngasih ke satu orang, rasanya tidak enak kalau tidak ngasih
ke teman-teman lainnya). Untuk menghemat waktu dan biaya, saya suka membelikan
suvenir yang sudah satu paket, yang menurut saya sih lumayan bagus, memang
tidak spektakuler. Tahu, kan, tipe gantungan kunci, dompet koin, atau boneka
kecil yang berenceng. Lalu ketika dibagi-bagikan, reaksi mereka kadang senang,
kadang biasa saja. Lalu kadang-kadang suvenir itu dibawa pulang, kadang
tertinggal begitu saja di meja (kafe ataupun kantor) tempat saya membagikan
sovenir) seperti barang tak berharga. Pffft..
Tapi, dipikir-pikir, kalau saya membelikan oleh-oleh ala kadarnya, wajar kalau responsnya pun ala kadarnya juga.
Tapi, dipikir-pikir, kalau saya membelikan oleh-oleh ala kadarnya, wajar kalau responsnya pun ala kadarnya juga.
Babi pun kesal kalau pemberiannya ditelantarkan begitu saja. |
Setelah mengalami beberapa kejadian seperti di atas, saya
memutuskan untuk mengabaikan saja omongan minta oleh-oleh. Anggap saja
basa-basi semua. Jalan-jalan pun jadi lebih nyaman dan ringan.
Suatu hari, saya sedang mendengarkan cerita Fenia tentang
liburannya di Jepang. Dia bercerita tentang fasilitas untuk lansia di sana,
tentang tuan rumah AirBnB-nya, dan lain-lain. Sampai ketika dia bercerita
tentang pengalamannya mencarikan oleh-oleh untuk beberapa teman kantornya, saya
berkomentar, “Kok, lo baik banget, sih? Mau repot-repot bawain oleh-oleh?”
Fenia menjawab dengan santai, kira-kira begini, “Yaaa,
mereka minta, nggak apa-apalah, kan mereka juga senang. Tinggal gue carikan
yang murah tapi bagus, beres.” Setelah itu Fenia menunjukkan foto
oleh-oleh tersebut, dan saya setuju, pernak-pernik itu bagus dan tidak terlihat
murahan. Saya tak heran kalau Fenia bisa menemukan oleh-oleh demikan karena dia
ini memang manusia yang sabar dan jeli.
Suvenir standar menurut saya, kadang berarti banyak bagi orang lain. Bisa juga sebaliknya, sih. |
Setelah diingat-ingat, sebenarnya saya sesekali pun tetap
saja suka membelikan oleh-oleh, biasanya untuk teman-teman dekat atau
anggota keluarga. Misalnya sekantung bubuk kopi Toraja untuk si Fenia yang
gemar menyeruput kopi dan belum pernah ke Tana Toraja. Atau sekantung bakso Sony dari
Lampung untuk Jaka yang penggemar beratnya sejak kecil. Atau selembar kain batik Bali untuk Danti si pencinta batik. Atau baju-baju mungil dan
menggemaskan di pasar malam Chiang Rai untuk keponakan-keponakan yang selalu bikin kangen. Semua itu biasanya saya bawakan tanpa harus diminta.
Pernah juga saya membelikan kakak saya titipan magnet kulkas dari Myanmar atau body lotion dari Singapura yang belum dijual di Jakarta, yang kalau bukan karena dia belum tentu saya
akan ke toko-toko tersebut. Tapi, rasanya senang-senang saja. Walaupun kami
bukan kakak adik yang paling akur sedunia, bahkan frekuensi bertengkar baru berkurang saat sudah tidak tinggal serumah, tapi saya sayang sama kakak saya
yang perfeksionisnya kadang bikin pusing itu. Jadi, bahkan sebelum dia nitip
apa-apa, kadang saya duluan yang bertanya, “Mau dibawain apa, Uni?”
Ternyata saya tidak anti membawakan oleh-oleh. Malah,
sejujurnya saya merasa senang kalau bisa membawakan oleh-oleh untuk orang-orang
yang saya ingin bawakan, yang saya tahu kegemaran khasnya apa, dan orang-orang yang
saya sayangi. Selain itu, biasanya barang-barang tersebut bukan yang sulit saya
dapatkan ketika jalan-jalan, dan juga tidak jauh di luar anggaran yang sudah
saya persiapkan. Tentunya, karena saya pun ogah kalau perjalanan saya terganggu hanya karena oleh-oleh.
Intinya, kalau oleh-oleh bisa membuat orang senang dan saya
pun tidak merasa direpotkannya, saya pikir tak ada salahnya berusaha sedikit
untuk membawakan oleh-oleh. Apalagi, tidak semua orang punya kesempatan yang
sama untuk jalan-jalan. Malah mungkin sebagian orang, oleh-oleh khas bisa mewakili sejumput cerita tentang daerah di luar sana, yang mungkin suatu hari nanti justru memicunya untuk bepergian, tak lagi harus merasakan pengalaman dari cerita dan oleh-oleh orang lain saja.
Saya sudah tak pernah lagi meminta oleh-oleh (beda ya dengan titipan barang yang saya bayar). Namun, tetap saja saya senang kalau ada yang membawakan oleh-oleh, karena saya merasa diingat dalam perjalanannya, kalaupun benda itu bukan selera saya. Ketika orang sedih atau susah, wajar dia mengingat orang lain. Tapi ketika dia senang, adalah suatu hal istimewa jika dia masih mengingat orang lain dan rela repot sedikit membawakannya oleh-oleh.
Saya sudah tak pernah lagi meminta oleh-oleh (beda ya dengan titipan barang yang saya bayar). Namun, tetap saja saya senang kalau ada yang membawakan oleh-oleh, karena saya merasa diingat dalam perjalanannya, kalaupun benda itu bukan selera saya. Ketika orang sedih atau susah, wajar dia mengingat orang lain. Tapi ketika dia senang, adalah suatu hal istimewa jika dia masih mengingat orang lain dan rela repot sedikit membawakannya oleh-oleh.
The devil is in the details. Terkadang, begitu juga dalam memilih oleh-oleh. |
Soal oleh-oleh menurutku kalau ikhlas ya bawain aja makanan kecil khas tempat liburan kita, kalau lagi 'males' beli ya tunjukin aja foto-foto liburan kita, hihi.. Basa-basi dibales basa-basi juga :D
ReplyDeleteKecuali kalo untuk keponakan, itu sih bocahnya belum bisa minta juga tantenya pasti pengen beliin ini itu...
iya, seikhlasnya.. tapi nggak perlu juga kita nyuruh orang untuk gak minta oleh-oleh, terserah kita aja nanggepinnya gimana :D
Deletehaha iya, ponakan cilik belum bisa minta..
Eh aku ngak perna bawa oleh2 apapun buat siapapun. Emak gw lebih seneng kalo gw abis jalan2 kirim duit dibandingkan kirim oleh2 hahaha
ReplyDeletegakpapa kak, bebas aja.. aku cuma gak sependapat dengan orang yang sampe anti banget bawain oleh2, sampe harus sinis, secara online pula. Kadang kita lupa aja sih, bahwa dibawain oleh2 tuh bisa sangat menyenangkan, dan bikin orang senang juga bikin kita senang, apalagi kalo orang itu kita sayangi. Tapi kalo mereka pilih dikirim duit, ya hamdallah ya kak, gak perlu nambah bagasi :))
DeleteBuku lo dari Thailand abis gw pake, dan gw selalu happy dibawakan kopi dari daerah2 yang jarang gw jajaki. Hihi.. thanks, Viraaa! :*
ReplyDeleteoh, kopi ya? oke, akan diingat. hihi
Deletewah, senangg kalo oleh2nya bisa berguna :D