"Di
Singapura masih ada kampung? Yang bener?!"
Tanya saya tiga perempat tak percaya Pada Diyan.
"Iya,
di Pulau Ubin. Nyeberang sedikit dari pulau utama, kata Zie," Diyan
menjelaskan.
Dua
hal baru sekaligus saya ketahui dari pembicaraan singkat ini, yaitu bahwa
Singapura tidak seluruhnya modern dan tidak terdiri dari hanya satu pulau.
Sedangkan Zie adalah teman Diyan yang asli orang Singapura dan berdomisili di
sana, jadi rasanya informasi ini bisa dipercaya.
Sejak
mengetahui tentang keberadaan kampung yang tersisa di rimba beton Singapura,
kami bertekad untuk melihat langsung ke lokasinya. Begitu membeli tiket Garuda
Indonesia lumayan murah di pameran #GATF2014, kami memasukkan Pulau Ubin dalam
rencana perjalanan.
Niat
tinggal niat, di Pulau Ubin kami malah tidak sempat menjelajahi kampungnya.
Kala itu, hari Minggu di penghujung bulan Januari, kami berangkat agak
kesiangan dari penginapan. Sedangkan jam 4 sore kami sudah harus kembali ke
pulau utama karena ingin menikmati senja di Gardens By The Bay.
Begitu
sampai di dermaga Pulau Ubin, matahari terasa sangat galak, mencakar-cakar
kulit dengan sinarnya. Hal pertama yang kami lakukan, berteduh sekaligus makan
siang. Setelah
cukup mengumpulkan niat untuk menerjang terik matahari, kami memilih sepeda di
tempat penyewaan. Girang sekali rasanya karena kami sudah rindu main sepeda. Terakhir kali bersepeda mungkin pas kami di Bagan, 1,5 tahun yang lalu.
Bersepeda dari area dermaga, kami
mengikuti rute yang sudah tersedia. Jalan aspalnya bagus, sebagian besar mulus,
dan terpasang penunjuk arah di setiap persimpangan. Sebagian jalan kecil di
tepi pantai masih berupa tanah dan kerikil, terbentang rapi di antara semak dan
pepohonan. Karena tidak siap dengan informasi detail tentang pulau ini, kami
asal-asalan memilih rute. Kadang kami memilih rute ke lokasi kamping, pantai, atau taman, tapi sayangnya tak
ada pilihan ‘kampung’ atau ‘village’. Kami sama sekali buta akan
lokasi kampung yang ingin kami kunjungi. Tadinya kami kira Pulau Ubin ini kecil
sekali dan begitu sampai akan ketahuan di mana kampungnya, ternyata tidak. Entah
kenapa, saat itu kami pun tidak terlintas pikiran untuk bertanya pada
siapa-siapa.
Sekitar dua jam berlalu, kami tak
kunjung menemukan si kampung. Memang sih, kami bersepeda dengan rute yang tidak
linear. Kami mengacak saja, malah kadang berbalik arah untuk kemudian mengikuti
rute baru lagi. Namun begitu, tetap saja kami menikmati tiap gowesan sepeda,
terpaan angin, dan hijau daun yang kami lewati. Tak jarang kami pun berpapasan
dengan pengunjung lain, bahkan pekerja bangunan yang naik mobil pick-up.
Sebuah danau menjadi daya tarik
wisata di Pulau Ubin. Danau ini terbentuk dari galian granit sejak tahun
1800-an, dan dari situlah nama Pulau Ubin berasal. Walaupun indah, danau ini
bukan untuk berenang. Pengunjung cuma bisa berdiri di belakang pagar sambil
menikmati pemandangan danau yang tenang dan burung-burung bangau di kejauhan.
Saya pikir-pikir sekarang, sebenarnya pemandangan danau ini tidak terlalu
memesona, apalagi kalau dibandingkan pemandangan alam yang sering saya lihat di
Indonesia. Tapi karena tidak menyangka akan melihat danau di Pulau Ubin, takjub
juga rasanya.
Berikutnya, kami menemukan sebuah
kejutan lain di Pulau Ubin, yaitu Sensory Trail. Sekilas terlihat seperti kebun
biasa, tapi ada konsep di belakangnya. Semua tanaman di Sensory Trail memiliki
odor atau tekstur yang khas, seperti durian, belimbing wuluh, rambutan, dan
pandan. Menurut artikel yang saya baca di sini, Sensory Trail dibuat
untuk memfasilitasi mereka yang tuna netra. Duh, kalau begitu, mestinya waktu
itu saya berjalan di sana sambil menutup mata! Eh, tapi, kalau tertusuk kulit
durian, manyun juga, sih.
Bersepeda 2-3 gowes saja dari Sensory
Trail, saya sampai di taman berpagar dengan gapura bertuliskan “Vegetables,
Herbs and Spices Garden”. Tanaman di situ berupa mint, lengkuas, jahe, dan banyak lagi. Terus terang, saya bukan
penggemar tumbuh-tumbuhan, dan selalu sulit membedakan jahe, laos, lengkuas,
ataupun daun mint dengan daun ketumbar, sereh dengan daun bawang. Bagi kamu
penggemar tanaman dan bumbu, mungkin kamu bisa betah berlama-lama di sini. Atau
bawa panci dan air panas sekalian, lalu masak sop.
Hari sudah semakin sore, kami
bergegas menyusuri jalan setapak di antara pepohonan rimbun menuju tempat
penyewaan sepeda. Saya suka si Uncle
pemilik sepeda ini karena dia ramah, tidak seperti kebanyakan pedagang yang
saya temukan di Singapura. Dari sana, kami berjalan kaki tak sampai lima menit
ke pantai di sisi dermaga. Anak-anak kecil sedang bermain pasir, turis-turis
berfoto di atas bebatuan besar. Melihat pantai sempit yang biasa banget ini, saya bersyukur sekali
tinggal di Indonesia. Tapi harus saya akui, pantai di Pulau Ubin ini terjaga
kebersihannya. Tak ada sedikitpun sampah yang terlihat. Hebat! Sepertinya di
situ juga berlaku “Singapor fine” yang
terkenal itu.
Walaupun kami gagal menemukan
kampung, bermain di Pulau Ubin memiliki keasyikannya tersendiri. Bagi saya,
rasanya seperti bermain di sebuah taman terawat yang besar sekali. Namun, akan
lebih afdol jika saya sempat menjelajahi Pulau Ubin lebih lama lagi. Mungkin
lain kali!
Catatan
- Terdapat beberapa tempat makan di sekitar dermaga. Satu di antaranya besar dan ramai, tapi pelayanannya lama.
- Pilihan untuk keliling Pulau Ubin: sewa sepeda atau mobil van. Penyewaan sepeda mudah ditemukan di dermaga dan sekitarnya. Harga sewa sepeda S$8/hari.
Menuju Pulau Ubin
- Pulau Ubin terletak di Timur Laut Singapura.
- Menyeberang ke Pulau Ubin dari Changi Ferry Point di Changi Village. Untuk menuju Changi Ferry Point jika naik MRT, kamu bisa berhenti di stasiun Tana Merah. Lalu sambung dengan Bus 2 di Exit B, yang menuju ke Changi Village. Perjalanan naik bus ini lamanya sekitar satu jam saja! Jangan takut tertidur di bus karena Changi Ferry Point adalah pemberhentian terakhir Bus 2.
- Penyeberangan menggunakan bumboat selama sekitar 15 menit. Tiap bumboat memuat maksimal 12 penumpang, dengan tarif S$2,5 per orang. Biasanya bumboat ngetem hingga penumpang penuh. Jika kamu ke Pulau Ubin pada akhir pekan, tidak akan lama menunggu bumboat berangkat karena banyak turis ke sana.
- Bumboat terakhir dari Pulau Ubin ke pulau utama berangkat jam 7 malam. Berangkat pertama dari arah sebaliknya? Waduh, saya lupa jam berapa.
Baca juga cerita-cerita saya lainnya
dari trip yang sama ke Singapura:
- Trekking di MacRitchie Reservoir, naik jembatan gantung!
- Singapore Tourist Pass, kartu sakti untuk naik MRT dan bus.
- Neko No Niwa, kafe kucing pertama di Singapura. Menggemaskan!
Perkenalkan, saya dari tim kumpulbagi. Saya ingin tau, apakah kiranya anda berencana untuk mengoleksi files menggunakan hosting yang baru?
ReplyDeleteJika ya, silahkan kunjungi website ini www.kumpulbagi.com untuk info selengkapnya.
Oh ya, di sana anda bisa dengan bebas mendowload music, foto-foto, video dalam jumlah dan waktu yang tidak terbatas, setelah registrasi terlebih dahulu. Gratis :)
Sepedaan di pulau ubin ya, asik juga itu :D Baru ngerti kalau singapore punya destinasi macam gini. Padahal udah pernah kesana dua kali euy~
ReplyDeletegue juga termasuk telat tau tentang Pulau Ubin! tapi.. never too late to bike there..hahaha
Delete