“Besok kita mulai jalan jam delapan pagi, ya. Supaya nggak terlalu kepanasan di jalan,” kata
Diyan, sambil menyiapkan celana pendek yang akan dikenakannya besok.
“Oke. Aku, sih, bisa bangun pagi. Kamu yang susah. Harus mau
ya, aku bangunin pagi-pagi!” ujar
saya percaya diri.
Kenyataannya, saya tidur terlalu nyenyak di penginapan kami yang nyaman, dan cuaca yang sangat sejuk pagi itu membuat kami malas bergerak. Saya lupa terbangun jam berapa, tapi kami baru siap berjalan
pada jam sepuluh pagi, ketika matahari sudah cukup tinggi! Oh, well. The walk must go on!
Pagi itu, di suatu hari cerah di musim semi, kami mulai
menyusuri punggung pulau Santorini, berjalan dari kota Oia ke Fira. Pulau yang
menjadi icon Yunani ini berbentuk
seperti kucing tanpa ekor sedang tidur meringkuk menghadap ke kiri. Oia berada
di ujung barat sekaligus utara pulau, atau di lokasi hidung si kucing.
Sedangkan Fira berada di perut si kucing, menghadap ke kaldera seperti juga
halnya Oia.
Berjalan dari penginapan di jantung kota, kami melewati
gang-gang kecil yang dipagari berbagai macam toko, untuk keluar dari Oia.
Suasana belum ramai karena jam 10 terhitung masih sangat pagi di kota liburan
ini. Meskipun masih sepi, kami sempat berkenalan dengan seorang lelaki Yunani
yang bekerja di toko perhiasan, yang menyapa dengan “Apa kabar?”. Ternyata ia
membaca tulisan ‘Indonesia’ di kaus saya saat itu, dan ia pernah tinggal
bertahun-tahun di Bali! Ternyata lagi, lelaki ini beristrikan seorang perempuan
Bali, bernama Kadek, yang bekerja di sebuah spa tak jauh dari sana. Kami sedang
terburu-buru, ingin segera menjalani rute trekking
sebelum hari menjadi begitu terik, tapi kebetulan yang sangat langka ini harus
diabadikan dulu dengan satu atau dua foto.
Bersama Kadek, orang Bali yang bekerja di Santorini. Sama-sama pulau dewata. |
Setelah bertukar nama akun Facebook dengan Kadek, perjalanan
benar-benar dimulai. Meninggalkan kota Oia, kami disambut pemandangan kaldera
di sebelah kanan, dengan permukaan laut Aegea yang tenang dan biru
sebiru-birunya. Saya dan Diyan membuat kesepakatan untuk hanya mengeluarkan
kamera dari tas setiap setengah jam saja. Karena, kalau tidak, bisa-bisa saya
tak berhenti memotret pemandangan yang sangat cantik itu dan entah kapan kami
akan sampai di Fira!
Rute perjalanan ini sudah jamak dilakukan para turis di
Santorini, baik dari Oia ke Fira ataupun sebaliknya. Jalan setapak sudah
tersedia dan terlihat jelas di antara rerumputan dan bebatuan dengan kontur
tanah naik turun. Kalau kamu sudah biasa hiking,
rute ini mungkin akan terasa seperti jalan-jalan di taman belaka. Namun bagi
saya yang tidak biasa hiking,
perjalanan ini terasa cukup berat, apalagi ditambah teriknya matahari dan beban
perbekalan minum di dalam tas punggung. Jaket yang saya kenakan di pagi hari
pun saya simpan di dalam tas karena temperatur udara sudah semakin meninggi,
mungkin sampai 25 derajat Celcius.
Leaving Oia |
Penunjuk jalan khusus trekking. |
Tak perlu pemandu untuk trekking antara Oia dan Fira. |
Sesekali kami berpapasan dengan turis yang berjalan dari
arah Fira. Sesekali kami disalip oleh turis yang berjalan dari Oia, yang masih
muda maupun sudah renta. Kami bahkan bertemu pasangan calon pengantin berparas
Asia yang sedang berfoto pranikah di sebuah gereja berkubah biru. Di perjalanan
ini, selain jenis tanaman yang tidak biasa saya temukan di Indonesia, saya juga
terkesima dengan adanya gereja-gereja di lokasi antah-berantah, jauh dari
pemukiman.
Biasanya turis di sini, yang kebanyakan dari Eropa dan
Amerika, butuh hanya 2 sampai 3 jam saja untuk menyusuri rute sepanjang 9
kilometer itu. Sedangkan saya butuh dua kali lipatnya, termasuk waktu untuk
memotret. Diyan pun menyesuaikan dengan kecepatan – mungkin lebih tepatnya
kelambatan – saya berjalan. Medan perjalanan kadang datar, kadang menanjak
curam, kadang menurun landai. Di sela-sela napas yang tersengal-sengal, tak
henti-hentinya saya mengagumi pemandangan sekeliling. Kaldera yang dikelilingi
kepulauan kecil Santorini itu terbentuk dari letusan vulkanik kira-kira 3,600
tahun yang lalu. Sedangkan di sebelah kiri, jalan aspal yang sesekali dilalui
mobil serta bus wisata tak cukup menghalangi pemandangan laut Aegea di tenggara
kepulau Kyklades ini.
Sebagian trek sudah dibentuk menjadi tangga yang landai. |
Hasil memotret sambil tidur-tiduran di pelataran gereja. Capek! |
Kira-kira setengah perjalanan barulah kami menemukan sebuah
taverna. Kami makan siang di situ sambil menikmati pemandangan kaldera. Rasa
makanannya tidak begitu enak, pemilik taverna pun kurang bisa berkomunikasi
dalam bahasa Inggris dan terkesan kurang ramah, tapi saya bersyukur akhirnya
menemukan kamar kecil setelah berjam-jam berjalan. Walaupun taverna ini di
tengah-tengah rute trek umum, tampaknya waktu itu hanya kami yang berhenti dan
‘mengisi bensin’ di sana.
Lepas makan siang, kami meneruskan perjalanan dengan lebih
bersemangat. Pemandangan masih sama dengan sebelumnya dan kami pun belum bosan.
Untuk melupakan sedikit rasa lelah, perjalanan kami isi dengan role playing, “main mending” yang saya
ciptakan dengan Mumun dan Reno di
Sulawesi dulu, merekam
video pendek, dan tentunya foto-foto.
Belum pernah melihat tanaman-tanaman ini sebelumnya. |
Tak lama kemudian sampailah kami di sebuah area yang tampak
seperti pemukiman elite. “Kita sudah sampai di Fira, ya??” tanya saya antusias.
“Hm, kayaknya
bukan, deh. Tuh, Fira masih di sana,” sahut Diyan sambil menunjuk ke sisi pulau
yang masih jauh di depan. “Kalau menurut peta, sih, ini Imerovigli.”
Agak kecewa karena perjalanan masih panjang, tapi saya juga
senang melihat vila-vila mewah dan anggun ini. Kebanyakan bangunannya berdinding
putih dengan aksen abu-abu. Kolam renang tampak di beberapa vila, dengan airnya
yang biru sejuk, membuat saya ingin mencebur dan berendam! Lalu saya ingat,
ketika mencari-cari penginapan untuk di Santorini, saya pernah menyimpulkan
bahwa Imerovigli ini area elite karena mahalnya harga sewa kamar di sana
dibandingkan daerah lain di Santorini. Konon, pemandangan matahari terbenam
dari Imerovigli adalah yang terbaik di Santorini. Sayangnya, entah kenapa kami
sedang malas memotret saat melintasi Imerovigli. Mungkin saking terkesima dengan
suasananya.
Kurang dari setengah jam kemudian, kami sampai di suatu
pemukiman lengkap dengan toko-toko dan gang kecilnya, mirip Oia. Ternyata area
itu adalah desa Firostefani, yang menandakan bahwa Fira sudah semakin dekat. Desa
ini cakep banget. Jendela-jendela toko didandani dengan bunga-bunga di
pot, barang-barang dagangan ditata rapi di tepi gang dengan latar dinding
putih, dan vila-vila putih abu-abu di lereng yang lebih mendekat ke tepi
kaldera.
Firostefani. |
Gang senggol ala Santorini. |
Santorini nggak melulu biru dan putih. |
Perahu yang sudah pensiun. |
Kira-kira apa yang dipikirkan bapak ini? |
Lima belas menit kemudian sampailah kami di Fira. Kota
terbesar dan teramai di Santorini ini selalu terdengar lucu di telinga saya
karena pengucapan namanya yang sama dengan nama saya. Kota ini sedikit lebih
berantakan daripada Oia, tapi tetap memiliki gang-gang pertokoan yang
menggemaskan. Paralel dengan gang pertokoan utama, terdapat jalan lebih lebar
untuk mobil berlalu lalang, dan di situlah kami mengakhiri trekking sambil menikmati suasana riuh rendah penduduk dan turis di
pusat kota Fira.
Akhirnya, sampai juga di Fira! Vira di Fira! |
Saya suka sekali dengan kata 'taverna'. |
Tante-tante gang yang fabulous. |
Touristy? Iya. Apa boleh buat, Santorini memang cantik! |
Mbak kasir kedai gyros, yang mirip model-model olshop di Indonesia. |
Inilah pengalaman pertama saya berjalan kaki begitu jauhnya. Nggak ada apa-apanya dibandingkan perjuangan orang Baduy yang jalan kaki 3 hari ke Jakarta, tapi sempat membuat saya ragu pada awalnya. Ternyata berkat kondisi fisik yang sedang baik,
sepasang sepatu yang mendukung, Diyan yang selalu menyemangati, dan pemandangan
indah di sepanjang jalan, saya pun mampu melewati perjalanan ini dengan riang
gembira!
Milestones? |
We did it! Our first trekking in Greece! There's more after this one. |
Catatan:
- Perjalanan kembali ke Oia kami tempuh dengan naik bus dari
stasiun Fira, hanya 2 euro/orang. Juga berlaku untuk rute sebaliknya.
- Bawa minum sendiri karena tidak ada warung atau mini market di sebagian besar rute trekking.
Vira di Fira!
ReplyDeleteAh, fotonya cakep-cakep banget siiiiihh... ini sih jalan kaki seharian gw juga mau kalau pemandangannya kaya gini :D
Iya Titi, cakep bangettt alamnyaaaa.. :D
DeleteGue pun walaupun waktu itu kecape'an, pengen lagi sih ngulang trek ini.. hihihi..
Wah seru banget!
ReplyDeleteEmang enaknya menyusuri dengan trekking ya, tapi ... bisa2 aku nanti tiap sudut foto2 mulu, dan ga sampe2!
Haha!
iyaaa, timooo! haha itu dia makanya gua mesti ngebatesin keluarin kamera tiap setengah jam doang..hihihi..
DeleteAh suka, semoga suatu saat bisa kesini mau senggol senggolan di gang senggol
ReplyDeletejadi meurut kadek, enak di bali atau santorini ???
waduh, gak nanyain itu ke kadek..
Deleteiya kak cumz, amiin, semoga kamu bisa ke sana segeraaa dan berkancut merah ria...hihihi
Waaa nyesel dulu gak trekking. Waktu itu mo trekking temperatur 40C, naek bis deh, itu aja kepanasan super super banget uda kayak masuk oven. Kayaknya lain kali musti ke Oia lagi tp pas Spring/Autumn gitu yak. Fotonya bagus2 euy!
ReplyDeletewohh, gila juga ya 40C!! gua juga bakal naik bus aja kalo gitu sih :))
Deletesulit untuk gak bagus fotonya, soalnya objek alamnya aja udah kece banget, gemes! semoga lain kali bisa ke sana lagi dan gak terlalu panas untuk trekking, ya Aggy :D
mau dong santorini.
ReplyDeletePerkenalkan, saya dari tim kumpulbagi. Saya ingin tau, apakah kiranya anda berencana untuk mengoleksi files menggunakan hosting yang baru?
Jika ya, silahkan kunjungi website ini www.kumpulbagi.com untuk info selengkapnya.
Di sana anda bisa dengan bebas share dan mendowload foto-foto keluarga dan trip, music, video, filem dll dalam jumlah dan waktu yang tidak terbatas, setelah registrasi terlebih dahulu. Gratis :)
beuuuh, jaraknya lumayan banget, kayak dari Ranu Pane ke Ranu Kumbolo. :P
ReplyDeletetapi, kalau view-nya cakep begitu mah rela banget!
eh tapi kalo ranu pane ke ranu kumbolo itu nanjak, bukan?
Deletekalo yang ini sih cenderung datar..nanjak/turunnya sedikit aja.
dan, iya.. pemandangannya mantap ya.. :D
kak Vira boleh minta contoh surat keterangan kerja yang menyebutkan kalo istri akan ditanggung biayanya selama di perjalanan? aku deg-degan nihh pengen ngurus Schengen dari kedutaan Yunani juga tapi agak ngeri soalnya kok prosesnya lama banget 2 minggu T_T
ReplyDeleteps : sori komennnya di sini, soalnya di artikelnya komenku gak bisa muncul huhuhu
email : rintaadita@gmail.com
aku pun baru tau, ada tulisan "Load More" di paling bawah yang bisa di-klik, itu kalo udah banyak banget komennya. Jadi ternyata komen2 kamu muncul semua di situ..hihi.. Udah di-email ya..
DeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeletewah keren bgt mbak Vira, jalur hiking-nya gampang ga mbak? bawa GPS atau apa gitu? atau ada papan hiking trail yang cukup jelas. Mbaknya ada pergi ke Zakynthos juga ga? maaf banyak nanya :D saya planning ke zakynthos.
ReplyDeleteHalo mbak Suci,
Deletejalur hiking-nya gampang, cuma naik turun aja dikit. Papan penunjuk arah cukup jelas, jalur setapaknya juga jelas. Sayangnya saya nggak ke Zakynthos, euy.