Tipografi. Seni menyusun dan mencetak huruf untuk
menciptakan kesan tertentu, dengan mengatur ukuran dan jarak antar huruf.
Entah kenapa kesenian ini seksi sekali di mata saya.
Kesukaan saya terhadap tipografi mungkin secara tak saya sadari sudah ada sejak
saya di bangku SMP. Saya suka banget – yang sekarang beken dengan nama – hand-lettering dengan spidol warna-warni
waktu itu. Album foto – zaman foto masih sering dicetak dan disimpan di album
fisik – saya susun dan hias dengan huruf-huruf yang saya gunting dari majalah.
Lalu ditambah kegemaran baca majalah – terutama majalah Hai – saya bercita-cita
jadi desainer grafis. Ditambah lagi kegemaran nonton video musik di MTV, saya
makin yakin untuk kuliah di Seni Rupa, tepatnya Desain Komunikasi Visual.
Kalau tidak salah, di tahun kedua saya mendapatkan mata
kuliah Tipografi, yang lalu menjadi salah satu mata kuliah favorit saya, di
samping Ilustrasi – dan Agama Budha yang merupakan pilihan kuliah umum. Kalau
tidak salah, nilai akhir saya di mata kuliah ini tidak sempurna, bukan A. Dan
saya ingat suka mengabaikan teori dari dosen karena saya lebih suka susunan dan
warna huruf yang saya ciptakan daripada apa yang disarankannya. Belagu, ya? Tak
apa, saya pikir Ibu Dosen yang baik hati itu cuma tak mengerti saja referensi
yang memengaruhi konsep saya saat itu. Saya ingat, dia memotong kalimat ketika
saya menjelaskan konsep.
Seharusnya saya kesal, tapi entah kenapa saya bisa cuek, dan masa bodoh
dengan nilai B pada tugas itu. Mungkin karena saya menikmati sekali menyusun
huruf, bahkan saat hampir semua masih dikerjakan dengan tangan, tak ada kemudahan
undo. Kalau salah menggambar huruf,
ya, berarti harus dihapus atau diulang lagi dari awal.
Begitu mulai belajar menggunakan Photoshop, banyak waktu
bisa saya habiskan untuk memilih font atau
tipe huruf – kebiasaan yang masih saya lakukan sampai sekarang. Saya tak berani
mengaku ahli tentang tipografi, tapi saya sering terganggu melihat penggunaan
dan penyusunan huruf yang tidak pas, setidaknya menurut saya. Peringatan
listrik tegangan tinggi menggunakan Comic Sans? Naskah panjang
menggunakan Haettenschweiler?
Ooooh, colok saja mata saya sekalian!
Begitulah, saya punya kesukaan dan kepedulian terhadap
tipografi; bentuk dan susunan huruf, serta keserasian huruf dengan
penerapannya. Maka ketika merencanakan perjalanan ke Yunani, betapa girang
ketika saya menemukan poin “Typography Museum” dalam daftar tempat wisata
yang direkomendasikan di Chania. Seperti Diyan yang tidak mempan dengan
kelitan saya untuk menghindari pendakian
Gunung Olympus dan menyusuri
Samaria Gorge, tekad saya mengunjungi Mouseio Typografias pun tak mengenal
kata ‘tidak’. Belum pernah saya tahu ada museum yang khusus didekasikan untuk
tipografi sebelumnya!
Plang sederhana dengan huruf yang didesain dengan baik. |
Mbak Elia, jurnalis sekaligus pemandu tur kami. |
Ketika sudah di Chania, kami baru menyadari bahwa Museum
Tipografi ini berlokasi di pinggir kota Chania, tepatnya di kawasan industri. Tak
ada bus dengan trayek ke sana. Supir taksi yang kami tumpangi pun tidak tahu
pasti akan lokasi museum ini, bahkan setelah kami tunjukkan screenshot peta dari Google Map. Berkat
bantuan sang supir bertanya pada beberapa orang di jalan, akhirnya kami tiba
juga di museum dalam waktu 15 menit saja.
Sesampainya di sana, staf museum bernama Elia Koumi
menyambut kami dengan ramah. Ia memberikan tur keliling museum dan menjelaskan
semua dalam bahasa Inggris yang lancar dengan logat Yunani yang kadang membuat
saya harus berpikir keras apa yang dimaksudnya.
Pertama, letakkan plat susunan huruf, lalu lumuri dengan tinta. |
Lalu, letakkan kertas, tarik tuas kencang-kencag untuk mencetakkan huruf pada kertas. Ini nyengir bukan karena pekerjaannya gampang, tapi menertawakan diri sendiri yang kekuatannya cupu. |
Hore, berhasil! |
Tur berlanjut ke mesin yang harus meleburkan metal untuk
kemudian mencetak huruf lagi. Ada pula mesin yang lebih modern, yang bisa
memberi empat pilihan font. Lebih
canggih lagi, ada mesin yang bisa menyimpan lembar demi lembar plat susunan
huruf, yang menghemat banyak waktu untuk mencetak koran dan buku. Mesin-mesin
yang sudah lebih modern ini terlihat seperti mesin tik kuno raksasa. Sebagian
hanya mengandalkan pekerjaan dengan tangan, sebagian mesti dioperasikan dengan
tangan dan kaki sekaligus, semacam mesin jahit kuno.
Terus terang saya lupa persisnya nama jenis mesin-mesin ini,
apalagi tahun digunakannya. Yang saya ingat, ada beberapa di antaranya yang
merupakan mesin linotype, litografi, gravir, dan cetak sablon. Di luar dugaan
saya, museum ini memiliki poster tertua di dunia!
Terbiasa dengan komputer, atau setidaknya mesin tik saat
masih kecil, saya takjub dengan cara kerja mesin-mesin ini. Walaupun pernah
dijelaskan oleh dosen saat kuliah dulu, melihat langsung mesin dan cara
kerjanya jauh lebih membuat saya menghargai usaha keras para jurnalis dan
desainer grafis zaman dulu. Apa ini, ya, yang dirasakan anak-anak kelahiran
tahun 2000-an saat mereka melihat telepon putar, sistem DOS, dan rewinder kaset VHS?
Menurut Elia, ini poster tertua di dunia, tentang Olimpiade di Athena. Waktu itu saya mulai bosan motret dengan kamera, jadi motret dengan HP ala kadarnya. Gini deh hasilnya, buram :( |
Cetak sampul emboss, ini contoh buku berbahasa Jerman. |
Kiri: Linotype. Kanan: Sekretaris lagi magang. |
Kalau tidak salah, ini cetak gravir. Tapi, entahlah, lupa tepatnya. |
Telex, alat untuk mengirim dan menerima pesan via sambungan telepon. Jadi, telegram, ya?
Elia, pemandu tur kami, bukan sembarang pemandu. Ia seorang
jurnalis di surat kabar Haniotika Nea yang terkemuka di Kreta. Adalah Yannis
Garedaki, pemilik surat kabar tersebut, yang mendirikan Museum Tipografi pada tahun 2005
bersama teman-teman sejawatnya. Memulai karier sebagai jurnalis, mereka
mengumpulkan berbagai mesin cetak dari berbagai sumber; beli maupun sumbangan,
replika maupun asli kuno. Mereka berprinsip bahwa mesin-mesin bersejarah serta
jasa para tipografer harus dikenang dan dihormati sampai kapan pun. Maka
didirikanlah museum ini, yang selalu membuka pintu lebar-lebar bagi siapapun
yang ingin tahu tentang sejarah perkembangan tipografi.
Satu-persatu sarana museum dibangun. Dari ruang pameran,
auditorium, hingga galeri khusus untuk karya desainer Antonis Papantonopoulos.
Karya-karyanya yang dipamerkan di sini merupakan interpretasinya akan
penemuan-penemuan awal yang menjadi cikal bakal aksara dan tipografi dunia.
Saat saya berkunjung ke sana di pertengahan tahun 2015, baru saja toko suvenir
diresmikan. Sebagai penggemar stationery,
manalah mungkin saya melewatkan belanja pensil, buku catatan kecil, dan
pembatas buku yang semuanya didesain dengan sangat bagus dan kekinian.
Museum Tipografi ini tak hanya berfungsi sebagai “sarana
nostalgia”, tapi mereka juga mendukung perkembangan tipografi. Terbukti dengan
tiap tahun diadakannya lomba poster dengan elemen utama tipografi. Beritanya bisa kamu baca di
halaman News website mereka, siapa tahu kamu berminat untuk mengikuti lomba
berikutnya. Seiring dengan tujuan tersebut, museum ini menerima kunjungan rombongan
demi rombongan anak sekolah dari seluruh penjuru Yunani – bukan cuma dari
sekitar Chania. Bahkan di bulan Mei tahun 2015 mereka juga dikunjungi dengan
suka cita oleh dua orang dari Indonesia!
Info:
Biaya masuk Mouseio Typografias: 4 Euro / orang.
Jadwal buka: Minggu jam 10.00-15.00. Selain itu, silakan
bikin janji lewat email info@typography-museum.gr
Untuk informasi resmi, buka saja website mereka typography-museum.gr
Catatan:
Sebagian dari tulisan ini saya ambil
dari artikel karya saya yang pernah dimuat di Majalah Panorama edisi
September/Oktober 2015 mengenai perjalanan di Chania dan sekitarnya.
|
salam kenal....
ReplyDeletehehe pantes ada perubahan font di tengah2 cerita...
menarik juga museum nya...
hehehe.. kalau soal font itu sih karena kesalahan teknis, dan belum sempat dibenerin :D
Deletesalam kenal juga
Oh, wow, I was drooling at every photo! I'm a geek for good typography. Love your post!
ReplyDelete