Rumah Kongkow, Rawamangun. |
"Free WiFi". Tulisan ini sering saya lihat di kaca-kaca jendela kafe atau restoran. Sekarang, wifi gratis menjadi daya tarik besar bagi para pengguna smartphone atau mereka yang ingin bekerja dengan laptop. Ada pro dan kontra tentang hal ini.
"Masa' datang ke restoran langsung nanyain wifi? Nggak menghargai kokinya banget, udah susah-susah nyiapin makanan!"
"Loh, 'kan tergantung tujuan. Kalau memang freelancer kayak gue yang kerja dari kafe, ya iyalah, gue perlu wifi-nya. Abis itu, baru deh, pertimbangan makanannya enak apa nggak."
Kira-kira begitulah pertentangan yang pernah saya dengar mengenai wifi di tempat makan.
Bagi saya sendiri, restoran atau kafe dengan wifi gratis itu bisa menyenangkan kalau sedang perlu, bisa menyebalkan kalau koneksinya lelet, tapi bisa juga tidak penting sama sekali kalau tujuan saya bukan untuk numpang berkoneksi.
Escalator Coffeehouse di Rasuna Office Park. |
"Kafe-kafe sekarang banyak yang mementingkan interiornya. Dibikin kekinianlah, Instagramable-lah, padahal makanan atau kopinya nggak enak." Ada juga yang berpendapat begini.
Bagi saya, hidangan yang enak tentu menjadi salah satu daya tarik tempat makan yang kuat. Rumah Makan Sederhana nggak ada cakep-cakepnya, tapi saya cukup sering makan di sana. Namun, sering juga saya memilih tempat makan berdasarkan desain tempatnya, terutama interior. I love aesthetic things, sue me.
Exquise Patisserie, Menteng. |
Kenyamanan juga sering menjadi pertimbangan saya memilih kafe untuk duduk berlama-lama. Selain makan, minum, dan ngobrol, beberapa hal yang saya suka lakukan di kafe adalah membaca dan menggambar. Untuk membaca, saya paling anti suasana ribut. Untuk menggambar, saya perlu tinggi meja dan kursi yang pas agar tengkuk tidak cepat pegal. Selain itu, saya termasuk makhluk tropis yang mengkhianati kodratnya; tidak tahan cuaca panas. Jadi, penting bagi saya ruangan kafe yang berpendingin udara atau disejukkan oleh atap dan pepohonan. Di Jakarta, yang terakhir disebut itu memang jarang sekali.
Bread Corner, Menteng. |
"Daripada kerja di kafe, mending di rumah. Nggak boros!" Ini saya sendiri yang sering mengatakan.
Kenyataannya, bekerja sebagai freelancer yang kerja sendiri di rumah sering bikin bosan juga. Saya tetap perlu bertemu dengan orang-orang, berada di sekitar orang-orang. Tidak harus selalu berinteraksi, cukup melihat adanya kesibukan lain di sekitar lain. Maka, pergilah saya sesekali ke kafe hanya untuk pindah bekerja atau melanjutkan proyek menggambar saya.
Kira-kira sudah setahun lebih saya hampir selalu bepergian dengan buku dan alat gambar di tas. Saya takut ketika menemukan objek menarik, tidak bisa mengabadikannya dalam gambar. Itu pernah terjadi saat saya sarapan di Sophie Authentique, waktu masih ada di Kemang. Walhasil, saya pinjam bolpen pramusaji dan menggambar suasana kafe di atas tisu.
Sophie Authentique waktu masih di Kemang. Sekarang pindah ke Cipete. |
Ya, menggambar bisa menggunakan media apa saja, bahkan ranting pohon dan kopi jika kamu mau. Tapi untuk saat ini saya masih hobi menggambar dengan pena dan cat air di atas kertas yang khusus untuk cat air. Untungnya ada cat air dalam kemasan praktis, pas untuk dibawa-bawa, sekalipun bepergian menggunakan transportasi umum.
Nah, kalau kamu, paling suka kafe atau restoran yang bagaimana?
Loteng, Cikini. |
Kanawa Coffee & Munch, Senopati. |
Traffique, Senayan. |
wah, dalam sketsa juga asik apalagi kita langsung datang ke cafenya.. lebih asik
ReplyDelete