Moussaka. |
Saya sering dengar cerita lucu tentang pengalaman makan orang-orang
ketika jalan-jalan ke luar negeri, terutama ke negara barat. Ada yang selalu
bawa sambal ABC, ada yang bawa Bon Cabe, ada juga yang cuma bisa makan roti dan
selai karena nggak cocok dengan pilihan lainnya. Saya sendiri nggak pernah
masalah makan apa saja. Tom Yum, hayuk. Burger, hayuk. Mi, hayuk. Taco, hayuk. Keju,
hayuk. Pasta, hayuk. Nggak perlu bawa-bawa sambal atau abon, saya hajar aja tuh
makanan lokal. Sekaligus ingin tahu cita rasa lokal yang konon merupakan salah
satu cara untuk mengerti budaya setempat juga. Saya pun biasanya nggak bawel
soal rasa makanan karena saya termasuk kaum yang hanya mengenal rasa “enak” dan
“enak banget”. Hm, pantas berat badan saya naik terus.
Waktu di Yunani, begitu juga. Saya selalu lahap makan
makanan lokal. Awalnya. Memang sih, makanan pertama yang kami makan adalah
gyros di McDonald’s di bandara. Yah, semi lokal deh. Tapi itu murni karena
malas repot cari tempat makan karena sudah lapar begitu mendarat di Athena.
Sesudah itu, saya cicipi macam-macam, antara lain gyros, souvlaki, moussaka, dan
greek salad. Rasanya bagaimana?
“Enak, ya. Makanan Yunani segar, nggak banyak bumbu,”
komentar saya di hari kedua atau ketiga. Saya ingat Diyan cuma mengangguk tipis
saat itu, nggak berkomentar apa-apa. Wajar sih, soalnya dia lidahnya jauh lebih
Nusantara daripada saya, tapi lumayan bisa beradaptasi kalau sedang nggak di
Indonesia.
Greek Salad di Akropolis, Athena. |
Tiap pesan makanan dihidangkan roti. Kadang kalau rotinya nggak dimakan, tetap dimasukkan ke tagihan. Jadi, sering kami bungkus untuk sarapan. |
Makan sore di Adamantas, Milos. Suka kerang, nggak suka wine. |
Selain makanan-makanan khas lokal, di Yunani juga banyak
tersedia pasta. Rasa bumbunya nggak sekuat di restoran-restoran di Indonesia,
tapi okelah. Yang bikin sedih, harganya.
Waktu makan siang pertama di Oia, kami memilih restoran
kecil dengan pemandangan cakep, melihat kaldera. Menjelang malam restoran ini
selalu ramai karena pemandangan sunset-nya nggak terhalangi. Saya lupa nama
restorannya, yang jelas seporsi spaghetti bolognaise udang harganya sekitar 17 Euro,
setara dengan Rp220,000 waktu itu. WHAT?? Di Jakarta saya bisa dapat menu
serupa dengan harga sepertiganya dan porsi lebih besar! Tapi apa boleh buat,
memang rata-rata harganya segitu, apalagi Oia terkenal sebagai kota turis
paling mahal (selain Mykonos) di Yunani.
Untung Susan dan Adam membaca racauan saya di Twitter tentang
mahalnya makanan di sana. Mereka, yang sudah pernah ke Oia sebelumnya, ngasih
saran untuk makan di dekat terminal bus karena ada restoran murah di sana. Saya
dan Diyan pun nurut. Kami beberapa kali jajan di restoran yang dimiliki seorang
imigran Pakistan yang gemar mengobrol dengan tamu-tamunya itu. Dari gyros
sampai omelet kami cicipi di situ. Rasanya? Biasa saja sih, memang setara
dengan harga, sekitar 3-5 Euro per menu. Yang penting dompet kami selamat!
Belum sampai seminggu di Yunani, kami melihat menu nasi goreng di suatu kedai makanan Cina di kota Fira. Diyan yang sudah kangen nasi langsung memesannya. Harga di bawah 10 Euro, porsi besar, rasa di bawah rata-rata. Yak, gagal! Kembali lagi ke makanan lokal.
Ini dia, pasta udang di Oia. |
Hore, gyros murah! |
Semacam telur dadar. |
Waktu di kota Mykonos, kami tetap sulit mencari makanan
murah. Kami sempat makan di restoran fast food yang murah, porsinya besar
sehingga bisa saya sisakan dari makan siang untuk makan malam. Lumayan dong, hemat.
Tapi nyatanya, karena after taste-nya
nggak enak banget akibat sudah terbiasa makan makanan yang lebih segar dan
sedikit gorengan, akhirnya kami menyerah juga pada Nikos Taverna.
Restoran ini
selalu ramai di malam hari dan masuk dalam daftar restoran paling hits Mykonos
ketika kami mencari referensi di Google. Harga menu pasta yang saya pesan,
kalau nggak salah, 22 Euro. Lebih mahal daripada yang di Oia, tapi lebih enak,
dengan potongan-potongan seafood yang lebih royal, porsi pun lebih besar. Saking
semangat makan, saya lupa memotret makanannya dengan lebih baik.
Pengalaman makan memuaskan lainnya adalah suatu restoran di Plaka, di Pulau Milos. Mungkin karena pulau ini cukup sepi turis, harganya pun sedang-sedang saja. Fillet ayam bakar dengan kentang goreng yang lezat dan porsi cukup besar, sekitar 12 Euro. Restorannya cantik, pemiliknya ramah, terletak di labirin gang khas Mediterania, dan jadi tempat berlindung kami dari cuaca yang sangat berangin dan dingin. Lokasinya cukup jauh dari tempat kami menginap, tapi sampai dua kali kami makan di situ.
Souvlaki di Sakis, restoran fast food di Mykonos. |
Niko's Taverna ramai banget, jadi agak lama nunggu makanan dihidangkan. |
Saus sambal digantikan tzatziki, saus yang putih itu. |
Beberapa taverna menyediakan hidangan penutup mini, ini salah satunya. Dua kali makan di restoran ini, beda terus dessert-nya. |
Ouzo, semacam arak Yunani. |
Setelah dua minggu bertualang di Yunani, mulai saya
merindukan sesuatu dari Indonesia. Nasi, bukan. Selama lauknya bukan rendang, gurame
bakar, atau semacamnya, saya bisa hidup tanpa nasi. Kerupuk, sayur asam, tempe
bacem, lebih nggak kangen lagi.
Tapi sambal.
Saya. Kangen. Sambal.
Saus sambal, sambal ulek, sambal goreng, sambalado, apapun
bentuknya, saya kangen!
Serta merta makanan SEGAR ala Yunani nggak menarik lagi buat
saya. Apalagi buat Diyan, yang sudah lebih dulu kangen sambal.
Sebagian besar penginapan kami menyediakan kompor. Kami suka
menggunakannya untuk menghangatkan roti, memasak air, pernah juga memasak
Indomie yang kami bawa dari Jakarta, dan masak pasta. Memasak adalah salah satu
cara untuk berhemat selama di perjalanan. Nah, ketika di Chania, kami
mencari-cari cabai di supermarket, siapa tahu ada yang mengimpor. Hasilnya,
nihil. Sedekat-dekatnya, kami cuma menemukan bubuk cabai di warung. Yah,
lumayanlah, sedikit mencicipi pedas pada pasta yang kami masak, walaupun lebih
menyerupai merica. Namun di samping itu, menu-menu yang kami makan di Old TownChania cukup cocok dengan lidah kami yang terbiasa dengan makanan berbumbu tak
tanggung-tanggung.
Meja alfresco di Chania Old Town. |
Terlihat kurang berbumbu tapi ternyata lumayan gurih daging kambing ini. |
Masih kangen dengan sambal, pencarian kami terus berlanjut. Di
Litochoro, sehari sebelum mendaki Gunung Olympus, kami sempat belanja di mini
market. Tetap tidak ada cabai. Lalu Diyan menemukan sosis kerbau, yang di
bungkusnya ada keterangan “spicy”. Saat
itu saya meremehkan definisi “spicy”
orang Yunani. “Alah, palingan spicy-nya nggak pedas!” saya pikir begitu. Jadi,
ketika memasak pasta dengan sosis tersebut, saya masih menambahkan bubuk cabai
yang mirip merica tadi. Lalu tibalah saatnya makan malam.
“Gila, kok pedas amat sih?!” ujar saya sambil menambah
minum. “Kan memang tulisannya spicy!”
sahut Diyan, ikut minum. “Huh, hah!” Kami tetap lanjut makan, karena selain
masih lapar, juga masih kangen sensasi pedas. Walhasil, malam itu kami sakit
perut dan urusan ke belakang makin lancar saja alias mencret.
Apakah rasa kangen pada sambal terobati sudah? Tentu tidak.
Pedasnya sosis itu, lagi-lagi, lebih mirip merica.
Keranjang belanja di Litochoro. Minyak zaitun, sosis kerbau, penne, dan entah apa lagi. |
Bekal makan siang untuk mendaki Gunung Olympus. Bumbunya dikurangi supaya perut nggak melilit di gunung. Tempat makan meminjam dari dapur Airbnb. Spork bawa dari Jakarta. |
Salah satu menu sarapan kami: sisa sayur, kentang goreng dan entah apa lagi dari menu malam sebelumnya + pasta masak sendiri. Sigaret ala Yunani, yang tembakaunya dilinting sendiri, punya Diyan. |
Makanan demi makanan kami lewati. Masih ada kerang rebus
dengan bumbu segar, kue-kue semacam koulouri dan loukoumedes, es krim fistiki
alias pistachio, lalu gyros lagi, moussaka lagi, pasta lagi, bahkan nasi goreng
di restoran Cina lainnya lagi. Sebagian tetap terasa enak, sebagian lagi saya
bahkan malas menghabiskannya.
Lalu tibalah saat kami harus pulang ke Jakarta. Sedih,
karena kami senang sekali bertualang di Yunani, kami senang udaranya yang
semakin ramah dengan orang tropis seperti kami ketika mulai memasuki musim
panas, dan banyak lagi yang kami senangi. Tapi begitu sampai di Jakarta, satu
hal yang kami lakukan setelah menyimpan ransel di apartemen, adalah langsung
pergi ke Sederhana. Bertemu sambal dan lauk pauk masakan Padang!
Ini dia, makanan pembuka petualangan di Yunani! |
Diyan serius dengan makanannya di Plaka, Athena. |
Es krim fistiki (pistachio) di Thessaloniki! Suka banget! |
Koulouri! Juga suka banget! Padahal cuma kayak roti goreng ditempelin wijen doang! |
Jajan kue di Athena. |
Loukoumedes, bola tepung goreng, dikasih almond dan madu. Lumayanlah, saya santap pas nunggu hujan reda di Kalambaka. Kalau suka manis, mungkin suka ini juga. |
Selalu suka kerang. Yang ini pas makan di Plaka, Athena. |
Mencicipi tentakel gurita bakar di Polonia, Milos. Tekstur mirip cumi tapi nggak sekenyal cumi. Mau lagi. |
Nasi Goreng Indonesia di suatu restoran oriental di Heraklion. Rasanya lumayanlah. |
Porsi jumbo spaghetti di refuge Gunung Olympus. Nggak habislah. Sisanya dibungkus, buat sarapan besoknya! |
Risotto seafood dan moussaka di suatu kota di Pulau Mykonos. Sepi dan lebih murah. Rasa lumayan saja. |
Apapun makanan nya, aku tetep kangen sambel tomat bikinan bupati gresik
ReplyDeletehmm.. buktiin dong kelezatannya.. kalo aku ke Gresik, bikinan yaaa :P
DeleteKapan mau ke gresik ??? emak ku siap buatsambel
DeleteSambel bupati gresik murah kok, ngak sampai 17 euro hahaha
kalo ke gresik mesti ada kamunya jadi guide ya!
Deleteaduh itu risotto seafood-nya keliatan menggoda banget, banyak kerang dan udangnya, nyam nyam. mana lagi puasa, hahaha...
ReplyDeleteterus terus itu meja alfresco di Chania cakep amat, kayak asyik banget kalau punya halaman belakang rumah kayak gitu, buat ngemil sore-sore.
Iya, itu risotto-nya enak kok, bukan cuma karena lagi puasa :P
DeleteNtar kalo bikin rumah semoga bisa bikin halaman belakang kayak gitu ya :D
makanannya bikin saya ngiler pengen nyobain..
ReplyDelete