|
Pemandangan dari Puncak Bintang, Bukit Moko. |
Bandung di masa libur selalu mengerikan. Penuh turis dan jalanan
macet. Saya dan Diyan selalu menghindari Bandung di masa liburan, hingga
akhirnya minggu lalu, ketika justru kami memutuskan untuk berlibur Lebaran di
Bandung. Ceritanya, kami ingin liburan di luar Jakarta sebelum saya melepas
status freelancer dan mulai kembali menjadi pegawai Senin-Jumat. Kami
memilih Bandung karena ongkos ke sana relatif murah dan ada banyak
pilihan Airbnb yang menarik. Pilihan Airbnb ini penting, karena kami punya banyak travel credit yang
bisa digunakan.
Kami memilih Bright
& Open Space sebagai 'rumah' kami selama tiga malam. Kami suka desain
rumahnya yang unik dan keren, suasananya terlihat nyaman, dan keluarga pemilik
rumah juga tinggal di situ. Lucunya, setelah memesan kamar, kami baru tahu
bahwa pemilik rumah ini ternyata si Adi, teman kampus saya! Jadi rasanya semakin
menyenangkan, seperti berlibur di rumah teman.
Update (Sept. 2017):
Pemilik rumah baru saja punya bayi, jadi servis Airbnb-nya ditutup dulu, entah sampai kapan. Tapi masih banyak rumah keren lainnya di Bandung yang bisa jadi pilihan di Airbnb.
|
Menangkap pernak-pernik dan cahaya di ruang tengah. Posted on IG. |
Perjalanan Jakarta - Bandung di hari Lebaran kedua tidak seburuk
yang kami bayangkan. Dalam empat jam kami tiba di pool X-Trans Cihampelas,
lanjut naik taksi ke Airbnb di daerah Cimenyan, sedikit di luar batas kotamadya.
Rumah Adi merupakan salah satu hasil karya desain Dendy dari UNKL dengan tambahan ide-ide dari
Adi dan Debbie, istrinya, yang sama-sama kreatif. Rumah berlangit-langit tinggi
ini tampak makin menjulang karena berdiri di atas tanah yang juga sudah tinggi
di hadapan jalan turunan. Bagian yang paling menarik perhatian adalah jembatan
(atau lebih tepat disebut dermaga, ya?) besi di depan rumah, yang kerap digunakan Adi buat hobi astrofotografi-nya. Di jembatan ini
saya dan Diyan mengamati matahari terbit di keesokan harinya, sambil
duduk-duduk menikmati pagi hari di Bandung yang – sayangnya - sedang tidak
begitu dingin.
Suasana rumah ini benar-benar terang dan lega seperti namanya. Nyaman
pula dengan bean bags-nya, serta pernak-pernik
dan sudut-sudutnya yang nyeni. Pas dengan niat kami untuk tidak banyak
berkegiatan selama di Bandung, melainkan leyeh-leyeh di rumah sambil baca buku,
mengobrol, atau menggambar.
|
Bean bags di halaman rumah? Kenapa tidak? |
|
Sunrise di Cimenyan. |
|
Ngumpulin nyawa sambil menikmati sunrise. |
|
Saya dan Diyan bergiliran untuk saling memotret. Salah satunya lagi ada di IG. |
|
Menggambar ruang tengah. |
|
Pernak-pernik rumah. Si Doggy pun berjemur. |
|
Saya, Danti (teman yang berkunjung), Debbie, Adi, dan Diyan (sedang motret) akhirnya keluar rumah jam 3 sore. |
NOTE: Adi dan Debbie sudah tidak menyewakan rumahnya untuk Airbnb sejak kelahiran anak pertama mereka. Jadi, tolong jangan tanya saya lagi ya tentang cara mengontak mereka. Hayati lelah!
Dalam dua hari yang penuh kami habiskan di Bandung, kami baru
bepergian agak sore. Yang pertama makan sate dan gulai kambing dengan
teman-teman di Rumah Makan Harris, Simpang Lima, sebelum sorenya kami naik
motor ke Bukit Moko. Jalanan yang kami lalui relatif sepi, tidak seperti libur
Lebaran di Bandung yang kami takutkan. Fiuh! Sayangnya, masih banyak tempat jajan
yang tutup, sehingga tempat-tempat yang buka banyak yang terlalu padat
pengunjung, bahkan antrean mengular. Mirip halnya dengan Bukit Moko.
Kami memang sudah tahu bahwa Bukit Moko ini semakin digemari
kalangan pengguna medsos sejak tahun 2014. Sayangnya baru kali ini kami
menyempatkan diri ke sana. Kami tak mengira Bukit ini akan kosong dari turis selfie, tapi tak menyangka akan terlalu
banyak pula! Karena konturnya berbukit-bukit dan ramai turis, kami langsung
teringat akan Akropolis
di Athena yang juga sesak dengan turis menjelang musim panas. Atau, seperti
Candi Borobudur saat liburan sekolah, deh. Terbayang, kan, ramainya?
Perjalanan menuju Bukit Moko, Cimenyan, ini diiringi pemandangan
asri perkebunan dengan latar belakang matahari yang semakin merendah. Jenis tanamannya
apa, saya kurang paham. Yang jelas, cantik! Walaupun sudah menggunakan GPS,
beberapa kali kami memastikan jalan dengan bertanya pada penduduk setempat
karena, kok, tak kunjung sampai, padahal rasanya sudah berjalan jauh sekali.
Selain itu, cukup banyak jalan bercabang yang bikin ragu.
Walaupun kami kurang suka dengan Bukit Moko yang sangat ramai dengan
manusia plus tongsisnya, kami tetap mengambil waktu untuk duduk santai di bangku
semen yang tersisa, tepatnya di Puncak Bintang. Pemandangan lampu kota bertemu langit
gelap, tak pernah salah. Kira-kira satu setengah jam kami di sana sampai akhirnya
tak tahan lagi dengan keramaian yang tiada akhir. Kami turun bukit, mengisi bensin
motor, makan di warung piza, lalu kembali leyeh-leyeh di teras rumah Adi sampai
tengah malam bersama seekor kucing liar yang manja.
|
Ladang menuju Bukit Moko. |
|
Para pengunjung menikmati pemandangan di tengah keramaian. |
|
Dari Puncak Bintang mengamati Dermaga Bintang dan lampu kota Bandung. |
|
Bintang di Puncak Bintang. |
Di sore hari berikutnya kami kembali jalan-jalan ke bukit, kali
ini di daerah Ciburial. Tujuan utama adalah Warung Langit, tempat makan dengan
bahan makanan organik yang sebagian besar dihasilkan dari kebun di sekitar
warung itu sendiri. Rute yang kami lewati sudah lebih ramai dengan perumahan
dan restoran-restoran, ada pula Selasar Sunaryo. Pemandangan dalam perjalanan
maupun di Warung Langit tidak secantik di Bukit Moko, tapi kongko di hadapan
hamparan kebun dengan teman-teman lama tetaplah menyenangkan, apalagi ditemani camilan
lezat dan minuman segar.
Dari Warung Langit, saya dan Diyan turun bukit membawa hasil
belanjaan: tanaman mint, lemon balm,
dan stevia. Ya, kami rela repot
membawa tiga ‘anak kecil’ ini naik X-Trans besoknya ke Jakarta. Walaupun di
Jakarta pun ketiga tanaman ini ada yang jual, di Warung Langit jauh lebih
murah, dan mungkin juga karena kami terbawa perasaan hangat di lokasi yang
justru sejuk itu.
|
Bala-bala bayam. Pas rasanya! |
|
Lemon Balm Sensation. Entah kenapa biji selasih dihidangkan terpisah. |
|
Warung Langit. |
|
Berbagai tanaman yang dibudidaya untuk hidangan dan untuk dijual. |
|
Betah ngobrol dalam suasana begini! |
Esok paginya, saya sedih. Sedih karena itu adalah hari terakhir
liburan di Bandung, dan sedih karena Roti
Gempol masih tutup. Cuma dua makanan yang sudah saya idam-idamkan sejak di
Jakarta, yaitu Roti Gempol dan Bubur Ayam Pak Zaenal. Yah, setidaknya saya
sudah puas dengan Bubur Zaenal di hari pertama, yang kami pesan lewat Go-Food.
Ini memang bubur favorit saya, nomor satu di dunia!
Namun saya cepat gembira lagi pagi itu. Demi mencari sarapan
lezat, di depan toko Roti Gempol yang tutup itu kami mencari rekomendasi
sarapan di Bandung di Google. Maka sampailah kami di Café Lula di Jalan Citarum. Sebuah
kafe modern, menempati bekas rumah Belanda seperti kebanyakan bangunan di
daerah tersebut. Kami tamu pertama di Café Lula pagi itu.
Desain kafe seperti Café Lula ini jamak saya lihat di Jakarta. Harga
menunya pun terasa seperti di Jakarta; kami menghabiskan Rp165.000,00 untuk dua
makanan dan dua minuman. Rasanya? Lezat! Saya sampai menanyakan pada staf kafe
apa saja bahan makanan yang ada di piring saya itu (dan esoknya di Jakarta
langsung saya coba meniru, dengan hasil ala kadarnya). Jadi, walaupun gagal sarapan
Roti Gempol, saya kembali gembira di pagi itu.
|
Bubur Ayam Pak Zaenal yang kental. Tampangnya berantakan, rasanya membahagiakan. |
|
Berangkat ke Roti Gempol. |
|
Diyan dan Cafe Lula. |
|
Menu Egg Benedict with Smoked Salmon. |
|
Menu Three Mushroom with Sausages. |
Bandung memang selalu menggembirakan bagi kami. Biasanya, kami
cuma menginap semalam kalau ke Bandung. Maka kami puas sekali dengan liburan
kali ini. Menginap tiga malam dengan rencana yang tidak ambisius, bersantai di
rumah yang nyaman, mengunjungi tempat-tempat cantik dan (kebanyakan) jauh dari
keramaian, pulang dengan piaraan tanaman baru, cukup untuk menyiapkan mental
kami kembali bekerja di Jakarta. Walaupun kami sering menghindari Bandung di
akhir pekan, kami juga tak pernah bisa menyangkal daya tariknya.
|
Kapan lagi ya, ke Bandung? |
Rumah nya keren banget yaaaa, aku suka sekali. Semoga suatu saat nanti di kasih rejeki bisa punya rumah macam tuch amien
ReplyDeleteAmiiiinn, Kak Cumi!
Deletemau juga ah, ke bandung, ke tempat2 itu, belom pernah makan bubur pak zaenal sama warung langit
ReplyDeletecobain Vid bubur zaenal.. either you love it or hate it.. jarang ada yang sukanya sedang2 saja..hihi
Deletekalo warung langit, katanya mau grand opening di bulan agustus, dan nanti ada campsite-nya.. pengen juga gua nyobain.. barengan aja, apa?
duuh rumah impian banget ini banyak sinar matahari masuk.
ReplyDeleteseneng yak jadi liburannya di Bandung ini sakses bangetttt.
iyaaa, tos kita sesama penyuka rumah terang :D
Deletealhamdulillah jeung, sakseeeuss berat liburannya! ayo mana cerita liburan Purwokertomu? Pen baca!
wah,saya jadi pengen liburan ke bandung..
ReplyDeleteWah, aku tidak menyangka ternyata Bandung secantik itu...
ReplyDeleteIni dekat dengan kota Bandung kan? Eh rumah dengan jendela kaca segede itu apa tidak terlalu panas ya kalau matahari bersinar terik?
Iya Mas Haris, ini sedikit aja di luar kota Bandung, tapi masuk Kabupaten Bandung. Memang sih, kalau siang hari sebagian rumah ini lumayan panas, tapi ada bagian2 yang nggak gede kacanya kalo siang tetep lumayan adem..
Deletewahhh mantap nih liburan... bdw mampir kesini Bengkulu sudah gan? :)
ReplyDeletekapan-kapan gan
DeleteRumahnya keren banget, langsung save di whistlist airbnb, semoga bisa kesana kapan-kapan :))
ReplyDeleteiya memang keren, menyenangkan buat liburan dan foto-foto :))
DeleteRumahnya keren ,,, tp syg ko sudah tidak tersedia ya di airnb ... padahal pgn ksna :(
ReplyDeletePemilik rumah baru aja punya bayi.. jadi sepertinya servis airbnb-nya ditutup dulu, entah sampai kapan..
Deletemba boleh minta kontak yg punya rumah ga?
ReplyDeleteke ig-nya aja Mbak, @rivinandya
Delete