Putus asa mencari lokasi yang saya maksud, beberapa puluh
menit kemudian kami memutuskan untuk turun di halte sembarang saja. Berjalan
mengikuti perasaan, belok kanan belok kiri semaunya, tahu-tahu kami memasuki
jalan kecil yang dipenuhi kios. Berwarna-warni tenda berderet di jalan khusus
pejalan kaki yang diapit gedung-gedung bertingkat ini. “Wow, pasar!” seru saya.
Farmers’ market, lebih tepatnya lagi.
Tempat para petani menjual hasil dari ladangnya.
Berwadah-wadah besar buah zaitun, tomat, apel, stroberi,
serta sayuran, paprika, bawang bombay, kacang-kacangan, dan banyak lainnya
dijajakan di sana. Ada pula truk telur ayam menyempil di deretan kios. Eh, ada
yang jual pisang juga, lho! Padahal bukannya pisang itu tanaman tropis, ya?
Para pedagang menjajakan dagangannya dengan seruan yang
bersemangat. Miriplah dengan pasar di Indonesia, cuma bedanya pedagang-pedagang
ini rata-rata berbadan besar, bersuara lebih menggelegar dengan bahasa Yunani
yang intonasinya kadang seperti marah padahal sepertinya nggak.
Jadi, kadang saya agak kaget juga mendengar teriakan mereka.
Jadi, kadang saya agak kaget juga mendengar teriakan mereka.
“China? Malaysia?” tanya seorang pria pedagang pada saya
ketika saya melihat-lihat paprika di kiosnya. “No, Indonesia,” jawab saya,
penasaran bagaimana reaksinya kemudian. “Oh, Indonesia! Moslem!” katanya. Ha ha
ha ha… Itu sungguh bukan reaksi yang saya harapkan. Karena saya nggak pernah
menganggap Indonesia ini negara Islam, saya jadi suka lupa bahwa penduduk
Indonesia memang dominan beragama Islam, sehingga orang luar sering mengaitkan
Indonesia dengan agama Islam. “Ooh..” kata seorang pedagang lainnya, sambil memperlihatkan
gestur ketakutan. Wah, sebegitu mengerikannya, ya, kesan agama Islam di sana?
Saya terus berjalan menyusuri pasar, yang saya nggak tahu
permanen atau termasuk pasar kaget ini. Berbeda dengan pasar tradisional yang
sering saya masuki di Indonesia, pasar ini nggak bau. Mungkin karena di sana
udaranya lebih kering, jadi sampah organik nggak cepat membusuk, entahlah. Yang
jelas, sampah pun nggak terlihat berserakan di mana-mana.
Ketika saya minta izin seorang pedagang untuk memotret cherry di kiosnya, ia malah minta ikut
difoto juga. Senyumnya mengembang saat saya membidik dengan kamera, dan pada
bidikan berikutnya ia mengajak temannya untuk difoto bareng. Melihat saya yang
sangat ‘turis’ ini, ia pun bertanya dari mana saya berasal. “Indonesia,” jawab
saya. “Oh, Indonesia. Far away!” begitu kira-kira responsnya, nggak pakai
bergidik takut.
Tiba di suatu perempatan, kami harus memilih untuk terus ke
bagian pasar lainnya, atau belok dan menemukan entah apa lagi. Merasa sudah
puas melihat isi pasar dalam suasana riuh, kami memutuskan untuk belok dan
melihat entah apa lagi. Pencarian kami akan deretan toko dan kafe pun
berlanjut…
*Tulisan ini masih
bagian dari 28 Days Blogging Challenge.
Temanya kali ini “pasar tradisional”. Berhubung semua cerita pasar tradisional
saya yang di Indonesia sudah dituliskan di indohoy.com, maka di sini saya ambil
cerita dari trip Yunani.
Gw nganga lihat foto daun bawang (hampir) setinggi pohon pisang!
ReplyDeleteIya, ini pasarnya rapi banget sih. Beda banget sama pasar di Indonesia.
hahahaha... orang-orangnya besar, daun bawangnya juga besar :))
DeleteMas tukang jualan yang paling bawah itu, matanya teduh.
ReplyDeleteKaya pohon.
hihihi.. kalo kamu di sana pasti borong dagangan dia gara2 matanya..
Deletewaw, daun bawang dan cabenya gede banget berbeda dengan ukuran biasa..he
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeletekak, mau tanya kalau ke yunani bulan november akhir sampai desember bagus ga ya? katanya musim hujan :( oiya lalu thessaloniki sama athens bagusan mana? Awalnya saya ingin stay di athens karena dekat dengan airport dan banyak tempat turist juga, tapi katanya riots banyaknya terjadi di athens ya?
ReplyDeletewah maaf, saya baru baca pertanyaan mbak dhiya.
Deletesaya nggak cukup lama di thessaloniki, jadi sulit mau bandinginnya dengan athens. tapi kayaknya athens lebih banyak atraksi karena lebih besar dan ibukota negara.
jadi, mbak sudah jadi ke sana? bagaimana kesannya?