Di salah satu stasiun LRT, satu dinding penuh dengan foto kucing dan sketsa cerita kucing sebesar ini! |
“Ngapain ke Kuala Lumpur? ‘Kan, nggak ada apa-apa!” ujar beberapa orang teman ketika mengetahui rencana liburan saya dan Diyan.
Selera memang bisa berbeda-beda. Cara pandang terhadap suatu
destinasi juga wajar kalau nggak seragam. Walaupun banyak orang bilang Kuala
Lumpur itu garing, kesan saya tentang kota ini bagus-bagus saja. Yang pernah
saya datangi memang tempat-tempat mainstream,
seperti Twin Towers, Bukit Bintang, Dataran Merdeka, dan Petaling Jaya (baca
ceritanya di
sini). Namun ada alasan kenapa tempat-tempat ini ramai turis. Tak perlu
saya jelaskan, karena sudah banyak artikel yang membahasnya. Di samping itu, saya
juga suka Kuala Lumpur karena tata kotanya, kebersihannya, dan sistem
transportasi umumnya baik, setidaknya jauh lebih baik dibandingkan tempat saya
tinggal, Jakarta. Ditambah lagi, gedung-gedung kolonial yang tampak masih
sangat terawat, dan udaranya yang terasa cukup bersih.
Dalam trip kali ini, saya mendatangi beberapa tempat yang
berbeda. Bukan tempat-tempat yang ada di artikel macam “10 Things to Do in Kuala Lumpur”. Sebagian berdasarkan saran dari
Ana, teman yang sempat tinggal di KL selama beberapa tahun.
Pertokoan di BANGSAR
“Lo mesti ke Snackfood! Pasti lo suka! Nanti gue sekalian
titip beliin Frankie, ya! Hihihi…” begitu pesan Ana di Whats App. Wah, kalau
dia sudah menyebut Frankie, majalah craft
dari Australia favorit kami, saya jadi penasaran apa saja yang ada di toko
itu.
Snackfood
terletak di lantai dua deretan ruko di jalan Bangsar Baru. Di lantai bawahnya
saya lupa ada toko apa. Benar saja kata Ana, saya sangat suka Snackfood!
Pertama, karena mereka memiara 2 ekor kucing, si Blackjack dan Terror. Blackjack
lebih ramah, dia suka mengikuti langkah saya dan Diyan kemudian minta dielus,
sementara Terror lebih suka menghilang ke bagian belakang toko. Kedua, karena
barang-barang hasil kurasi Snackfood cocok dengan selera saya, mulai dari notebook, majalah, mangkok, sampai
piyama. Sayang harganya banyak yang kurang cocok. Ketiga, penjaga tokonya, Diane,
berdandan se-quirky koleksi barang
mereka – terlihat sejiwa dengan
tempatnya bekerja. Ia juga ramah, selalu menjawab pertanyaan saya dengan
senyuman di sela-sela pekerjaannya membereskan stok barang.
Satu lagi saran dari Ana, toko Cziplee, yang letaknya sederetan dengan
Snackfood. Toko ini berupa mini market berlantai dua dengan koleksi ‘racun
manis’ buat para pencinta seni rupa dan kerajinan tangan. Niat saya hanya ingin
membeli fountain pen dengan mata pena
berukuran kecil. Satu jam di Cziplee, saya malah keluar dengan tentengan
fountain pen, sketchbook tipis, notebook
cover, pen holder, penghapus pensil, dan wadah cat air. Kalau bukan karena
Diyan mengingatkan bahwa kami harus bergegas ke bandara, mungkin saya akan
lebih lama berada di situ dan membeli lebih banyak lagi barang.
Selain kedua toko ini, kami juga sempat memasuki beberapa
toko peralatan kegiatan outdoor. Di
sana juga banyak butik, kafe, restoran, dan spa. Kami juga melewati gang yang
dindingnya penuh grafiti. Keseluruhan area ini mengingatkan saya pada Kemang, Jakarta,
di awal tahun 2000-an, waktu masih terasa banget kreativitas dan suasana anak
muda-nya.
Sayangnya, area Bangsar ini sulit dicapai dengan kendaraan
umum. Untuk menuju ke Snackfood dari Airbnb kami di dekat Ampang Park, kami
naik LRT dan menyambung dengan jalan kaki lebih dari 1 km. Dan sayangnya lagi,
saya lebih banyak mengabadikan suasana Bangsar dengan instastory, sehinggak tak
banyak fotonya yang bisa saya tampilkan di sini.
Dinding di pertokoan Bangsar. |
Hello, meowkins Blackjack! |
Deretan majalah yang menggoda iman di Snackfood. |
CANOPY WALK di tengah kota
Menjelang jam 5 sore, kami sampai di gerbang Taman Eco Rimba
KL (KL Forest Eco Park) untuk trekking santai. Taman hutan ini adalah hutan
lindung seluas 9 hektar yang masih bertahan di tengah kota Kuala Lumpur (pada
awalnya, di tahun 1906 hutan ini seluas 17,5 hektar, tapi tergerus pembangunan
yang semakin menggerogoti lahan).
Masuk ke KL Forest Eco Park tak dipungut biaya sepeserpun.
Dari gerbang, kami mengambil jalan ke kiri, melewati jalan setapak menanjak yang
sudah disemen dan bertangga-tangga. Di atas ada jalan setapak untuk menyusuri
hutan. Tapi kami memilih untuk langsung naik tangga melingkar menuju canopy walk alias jembatan gantung.
Jembatan gantung ini panjang totalnya 200 meter tapi
dibagi-bagi menjadi beberapa ruas dan tingkat. Dari atas jembatan terlihat
pepohonan rimbun yang dilatari langit biru. Pucuk KL Tower menyembul di belakang
pepohonan. Pengunjung sore itu kebanyakan orang setempat dan kelakukannya seperti
kami, sekadar jalan-jalan dan berfoto-foto. Kalau kamu punya minat terhadap jenis-jenis
tumbuhan, bisa sekalian belajar di sana karena ada banyak tanaman yang
diberikan papan nama dan keterangan.
Hutan ini mungkin tidak terlihat istimewa, apalagi kalau
kamu sudah biasa naik gunung dan masuk hutan di Indonesia. Saya punya sedikit
pengalaman bermain di hutan rimba Kalimantan, tapi rasanya saya lebih cocok
dengan hutan seperti ini. Bisa berada di tengah suasana alami, tapi tak jauh
dari peradaban kota, dan tak perlu membawa tas berat yang berisi segala macam
keperluan untuk berhari-hari. Tapi karena rutenya yang naik turun, lumayan
berolahraga juga rasanya.
Jam operasional: 7 pagi – 7 malam.
(Baca juga: trekking santai di MacRitchie Reservoir
Park, Singapura.)
Lebih nyaman sepatu yang dipakai, lebih baik. |
Pengunjung nggak terlalu ramai, jadi masih bisa bebas dari photobomb. |
Dilihat dari menara tingkat 3. |
HELIPAD Lounge & Bar
Setelah berkeringat dari canopy
walk, kami langsung berjalan kaki menuju gedung KH sejauh 700 meter. Kontur
jalannya naik turun, dan saya sempat salah jalan pula, naik eskalator ke
jembatan penyeberangan, padahal seharusnya tinggal belok kiri dan langsung
sampai. Kejadian ini lumayan menghibur Diyan yang dengan sigap memvideokannya di
instastory!
Heli Lounge & Bar berada di lantai 34. Sebenarnya saya
nggak hobi nongkrong di bar ataupun lounge.
Tapi saya tertarik ke sana karena mereka punya lounge di rooftop (ketebak ya, dari namanya) untuk
menikmati pemandangan matahari terbenam, yang baru bisa diakses mulai jam 6
sore.
Begitu datang, kami dipersilakan duduk di lounge lantai 34,
dan memesan minum. Kebanyakan pengunjungnya turis atau expat dari barat dan
mereka yang berwajah oriental. Walaupun para staf berpakaian jauh lebih necis
daripada kami, mereka tetap memperlakukan kami dengan ramah.
Helipad Lounge, tempat menunggu sebelum akses rooftop dibuka. |
Beberapa menit sebelum jam 6 sore sebagian pengunjung sudah
antre di depan pintu akses menuju rooftop. Jam 6 teng staf Heli membuka pintu
dan kami ikut berbondong-bondong ke rooftop. Selain beberapa meja yang sudah
direservasi, para pengunjung berlomba-lomba – tapi tetap tertib – menduduki
tempat terbaik, yaitu di tepi rooftop yang menghadap ke matahari, atau sisi
yang berlawanan yang menghadap ke Twin Towers. Sedangkan kami mendapat meja di
tengah-tengah.
Musik chill
melatari suasana rileks para pengunjung yang sibuk ngobrol satu sama lain,
berfoto, dan menikmati minuman masing-masing. Pemandangan terlucu bagi saya
adalah di meja sebelah kanan ujung, yaitu seorang pria yang terlihat bingung
mesti ngapain sementara pasangan
perempuannya tak henti-henti berswafoto di hadapannya.
Langit semakin gelap, lampu kota menyala semakin meriah.
Pengunjung semakin ramai, dan tiga orang perempuan berhijab asal Kuala Lumpur
meminta izin untuk duduk semeja dengan kami karena meja lain sudah penuh. Kami
sempat bertukar cerita tentang Indonesia dan Malaysia hingga gelas jus jeruk
mereka kosong.
Notes: tidak ada dresscode khusus untuk ke Heli Lounge &
Bar sebelum jam 9 malam. Mulai jam 9 malam, tamu yang masuk diharuskan memakai
pakaian rapi, sepatu, dan bukan atribut olahraga.
Minuman bisa dibawa dari lantai 34, atau bisa pesan dari rooftop juga. |
Keramaian pengunjung, sunset, dan KL Tower. |
Sekali-sekali kencan di bar pas magrib. |
(Baca juga pengalaman
kami di Ipoh, kota tua yang sangat menawan, tak jauh dari Kuala Lumpur.)
Dibuang sayang:
Naksir berat sama outer ini di Snackfood! |
Masih dari Snackfood. |
Walaupun mukanya jutek, Blackjack manja banget. |
La la la la la! |
KL Tower di belakang KL Forest Park. |
Pemandangan dari salah satu stasiun LRT. |
Pemandangan dari balkon Airbnb kami. O ya, dapetin travel credit Airbnb biar hemat di perjalanan, di sini. |
kayaknya kamu emang suka banget canopy walk yaaaa...
ReplyDeletehahahaa.. iya, suka.. soalnya biasanya pemandangannya cakep, berada di tengah-tengah alam, dan medannya nggak sulit :))
DeleteWah wah wah artikel ini mesti aku teruskan sama Biyan karena menurut dia KL itu nggak menarik. Mungkin karena wajtu itu cuma sebentar dan ga sempat menemukan tempat2 asik kayak gini. Rooftop Bar nya kucatat banget, serupa Sala Ratanakosin yang tadi aku bilang di blog mu soal Bangkok
ReplyDeletewaktu itu sama Biyan ke mana aja di KL?
Deleteatau mungkin..memang buat anak kecil yang kayak ginian gak menarik ya?
tempatnya menarik juga ya untuk di kunjungi.. :)
ReplyDelete