Pages

Sep 22, 2019

Kembali ke Abad Pertengahan di Ghent, Belgia


-->



Saya dan Diyan mendapatkan rekomendasi untuk berkunjung ke Ghent dari seorang turis Belgia yang nggak sengaja bertemu kami waktu di Bali beberapa tahun lalu. Katanya, dibandingkan dengan Bruges yang lebih terkenal berkat film “In Bruges” yang dibintangi Colin Farrell, Ghent tak kalah indah dan antik, dan tidak seramai Bruges. Teman saya, Deazy, yang sudah 10 tahun tinggal di Belgia pun bilang begitu. Maka kami putuskan untuk bermain-main di Ghent seharian.

Karena kebiasaan bergerak santai di pagi hari, kami baru tiba di Ghent, atau Gent, menjelang tengah hari. Baru sebentar sampai di downtown, hujan gerimis menyambut. Kami berteduh di sebuah toko coklat, dan langsung disambut kebingungan memilih coklat dari begitu banyak varian. Jangan tanya apa saja variannya karena saya sudah lupa. Tapi saya ingat betul menikmati lezatnya coklat-coklat imut itu di meja depan toko sambil menunggu hujan reda. Menengok ke kanan dan kiri, bangunan tua masih banyak berdiri kokoh. Lonceng gereja terdengar lantang, mungkin dari gereja Saint Nicolas, salah satu landmark kota itu. Rombongan turis berbaris tertib di seberang jalan, memakai jas hujan dan payung, berjalan mengikuti pemandu tur.

Ghent pernah menjadi salah satu kota terbesar dan terkaya di seluruh Eropa pada abad ke-13 hingga 15. Ia berkembang sebagai kota pelabuhan. Tak heran ramai sekali kota ini di bagian sekitar sungainya. Rumah-rumah tua 3-4 lantai dan ruas jalan yang lebar untuk pejalan kaki terdapat di kedua sisi sungai. Perahu-perahu wisata bersandar di dekat jembatan, menanti para turis yang ingin sightseeing.

Area Graslei, di sepanjang Sungai Leie.
Hujan tidak menjadi alasan bagi para wisatawan untuk menikmati Ghent.


Salah satu bangunan paling ikonik di Ghent adalah puri Gravensteen. Puri ini dibangun pada tahun 1180 dan telah direstorasi pada akhir abad ke-19. Fungsinya telah berganti-ganti dari tempat tinggal bangsawan, penjara, hingga pabrik tekstil. Sekarang ia menjadi museum, tapi kami tidak sempat memasukinya.

Di tengah kota yang sarat dengan bangunan abad pertengahan ini, terdapat sebuah bangunan modern yang sangat menarik perhatian saya, yaitu City Pavilion. Struktur semi terbuka ini menggunakan materi kaca, kayu, dan beton, dengan model yang tidak umum. Dirancang oleh arsitek Robbrecht & Daem / Marie-José Van Hee, City Pavilion ini sering digunakan untuk pertunjukan musik, tarian, dan bazar. Ketika saya di sana, duo musisi sedang memainkan lagu “The Phantom of the Opera” yang dramatis dengan biola dan akordeon. Wow, langsung terbayang Erik dan Christine Daae yang sembunyi-sembunyi di lorong bawah tanah gedung opera. 

City Pavilion
Gravensteen, puri dari abad ke-12.


Momen yang paling saya sukai adalah saat kami duduk di kafe In Choc. Diyan menyesap secangkir kopi, saya menyeruput coklat hangat. Kami duduk di meja kedua dari jendela yang menghadap ke jalan besar. Sesekali trem kuno lewat di depan jendela, bergantian dengan trem modern. Dua gadis Kaukasia yang duduk di meja sebelah jendela menjadi latar depan pemandangan kami. Ketika saya asyik menggambar tentang pengalaman di hari itu di buku sketsa, seorang perempuan yang mungkin berusia sekitar 45 tahun di meja sebelah memperhatikan dan kemudian memuji gambar saya. Dari situ, kami mulai mengobrol. Diyan dan laki-laki pasangan perempuan itu ikut nimbrung. Mereka adalah penduduk Ghent, bukan turis, yang memang gemar duduk di kafe itu.

Gerimis belum benar-benar berhenti, tapi waktu sudah semakin sore. Kami harus bergegas kembali ke Rotselaar sebelum cuaca semakin dingin seiring dengan masuknya malam. Untuk saya yang sedang flu, tentunya itu akan sangat menyiksa. Memang belum puas sama sekali saya menjelajahi Ghent. Semoga saja masih ada kali lain yang tidak terburu-buru untuk menikmati kota cantik ini.

 
Kota yang memberi banyak inspirasi.

Trem kuno terlihat di kejauhan, sedang melewati puri Gravesteen.

Siapa yang nggak bakal senang ke kota seindah Ghent?

Random neighborhood.

Random alley.
Gereja St. Nicholas dari awal abad ke-13.

Salah satu pelabuhan terpenting di Eropa zaman dulu kala.

Trem baru, bangunan lama.

Random shophouses.

Yang mana di foto ini yang bukan barang vintage? 
City Pavilion di seberang menara lonceng tertinggi Belgia (Belfry of Ghent).
Orang-orang menikmati musik yang dibawakan duo musisi.



Gedung bagian belakan museum desain Ghent yang terkenal, tapi buat saya pamerannya kok kurang asyik, ya.

Jalanan Ghent setelah diguyur hujan.

Kadang sulit membedakan batas antara jalan manusia dan jalan mobil.

Bersepeda di Ghent kayaknya asyik.

Ke mana-mana berjalan kaki, enak banget dengan pemandangan bagus begini.

Random beautiful cafes.

Ketika baru keluar dari museum desain.


2 comments:

  1. Wah, bahkan di tengah hujan gerimis dan langit kelabu Ghent tetap kelihatan menawan banget. Dibandingkan Brussel, Bruges dan Antwerp, Ghent memang agaknya sekarang kalah pamor dibanding kota-kota lain di Belgia, padahal bangunan-bangunan tuanya cantik sekali. Kayaknya memang seru sih kalau ekplor kota ini pakai sepeda.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Nah, tadinya gue mau ke Bruges. Tapi kata temen yang tinggal di Belgia, Bruges itu mirip2lah sama Ghent, tapi Ghent nggak serame/se-touristy Bruges. Jadi kami pilih Ghent.
      Waw, Ghent aja lumayan rame sama turis, nggak kebayang Bruges kayak gimana :))

      Delete