"How to Love Brutalism" oleh John Grindrod |
-->
Sekilas, kok sadis amat buku ini? Kenapa kita mesti menyukai
kebrutalan?
Karena Brutalism yang
dimaksud di sini adalah sebuah gaya arsitektur yang berkembang sejak 1950an
sampai awal 1980an. Karakter fisiknya nggak ada satu elemen yang pasti, tapi
ciri yang umum bangunan Brutalis itu pake materi beton dengan bentuk yang nggak
biasa. ‘Nggak biasa’ di sini bisa yang kotak besar doang dengan garis-garis
kolom tebal tanpa ornamen pemanis, bisa juga strukturnya kecil di bawah dan
drastis membesar ke atas, atau kombinasi beberapa bentuk yang sekilas terlihat
saling bertabrakan semaunya. Ada juga arsitek yang berpendapat, bahwa gaya
Brutalis itu yang penting idenya yang melawan arus, nggak mesti serba beton
atau serba abu-abu.
Secara penamaan, sebenarnya nggak ada hubungannya dengan
kekerasan atau sifat brutal. Awalnya arsitektur Swis-Prancis, Le Corbusier,
yang mempopulerkan gaya ini. Materi yang ia gunakan adalah béton brut, istilah bahasa Prancis yang artinya beton kasar. Oleh orang berbahasa
Inggris, ‘kasar’ ini disalahartikan menjadi sesuatu yang sifatnya seperti
brutal, hingga jadilah ‘Brutalism’ atau ‘Brutalist’.
Unite d’ Habitation. Arsitek: Le Corbusier. |
Lalu, kenapa saya baca buku ini? Padahal saya arsitek pun
bukan. Brutal juga kayaknya nggak.
Berawal dari saat saya kerja di suatu majalah desain, ada
kontributor yang menulis pembahasan tentang arsitektur Brutalis. Nama alirannya
memang bikin nengok, ya. Maka saya telaah lagi tentang Brutalisme dan
terheran-heran dengan contoh-contoh bangunannya. ‘Kok gini banget ya
bentuknya?’ pikir saya. Seperti semaunya saja bikin bentuk gedung, yang juga
berarti berani banget, nggak peduli apa kata orang. Dari situ, semakin saya
tertarik dengan Brutalisme.
Waktu perjalanan di Eropa tahun lalu, salah satu fokus
ketertarikan saya adalah arsitektur. Di Prancis saya memperhatikan atap mansard, di Brussels saya mencari
gedung-gedung Art Nouveau, dan di Copenhagen saya mencari bangunan-bangunan
karya Bjarke Ingels. Tapi baru ketika di Berlin saya sengaja mencari bangunan
Brutalis, dan dapatlah Bierpinsel. Gedung ini sepertinya sedang nggak
difungsikan, jadi saya nggak bisa masuk. Saya hanya memperhatikannya dari
beberapa sisi, lalu menggambarnya dari kafe seberang jalan sambil sarapan ‘roti
bulan sabit’ (percaya nggak, ini terjemahan untuk croissant). Bentuknya lucu, Diyan bilang seperti sikat toilet, saya
sendiri lihatnya seperti lolipop atau pohon. Ternyata ‘bierpinsel’ dalam bahasa Jerman artinya sikat bir.
Bierpinsel di Steglitz, Berlin |
Nah, kembali lagi ke buku. Yang dibahas di sini mulai dari
awal mula tren Brutalis muncul, siapa saja arsitek yang mendesain bangunan
Brutalis, bagaimana sambutan masyarakat, pemeliharaan gedungnya, hingga citra
Brutalis yang sering diasosiasikan dengan kejahatan, kekerasan, dan kekumuhan
di film-film. Gara-gara baca buku ini, saya jadi punya destinasi baru dalam bucket list: Chandigarh, di India. Pusat kota
Chandigarh dirancang oleh Le Corbusier, bisa dibilang pelopornya Brutalis.
Banyak sekali contoh bangunan Brutalis yang disebutkan dalam
tiap bab buku ini. Banyak pula yang saya belum tahu seperti apa bangunannya.
Sayangnya, tiap bab cuma ada satu ilustrasi gedung. Jadi, sambil baca buku,
saya harus sambil mencari di Google gedung-gedung lain yang dimaksud penulis.
Soalnya, tulisannya banyak membahas ciri fisik gedung dan dikaitkan dengan
banyak hal, jadi akan lebih mudah untuk mengerti kalau saya lihat bentuk
gedungnya. Nah, proses bolak-balik ke Google ini cukup makan waktu, sehingga
makin lama saya menyelesaikan bukunya, dan, ya, repot. Namun begitu, saya suka
ilustrasi yang ada di buku. Sederhana saja, sebagian malah cuma pake garis outline, dan nggak berwarna. Tapi pas
saya coba menggambar seperti itu, ternyata susah juga, apalagi kalau banyak
bentuk repetitif yang ukurannya pun kecil-kecil.
Palace of Assembly di Candigarh |
Buku “How to Love Brutalism” ditulis oleh John Grindrod,
penulis yang sudah menerbitkan beberapa buku lainnya, tapi nggak semua bertema
arsitektur. Di bab awal dia menulis bahwa banyak orang yang dia kenal membenci
bentuk gedung-gedung Brutalis, dan jika kamu sampai perlu membaca buku dengan
judul ini, berarti kamu pun pasti membencinya. Ternyata ini nggak akurat,
setidaknya pada saya. Saya sudah menyukai Brutalis ketika menemukan buku ini di
rak toko Do You Read Me di Berlin. Tapi waktu itu saya belum bisa menjelaskan
kenapa saya suka, dan siapa tahu buku ini bisa memberikan jawabannya.
Gedung Unite d’ Habitation yang didesain oleh Le Corbusier
pada tahun 1952 berulang kali disebut di buku ini. Konsepnya seperti kota
mandiri yang disusun vertikal, suatu hal baru pada masa itu. Banyak contoh
gedung Brutalis lainnya yang disebutkan juga punya nilai sosial yang cukup
kuat. Tapi rasanya sih bukan itu yang bikin saya suka.
Sepertinya saya tetap menyukai Brutalis karena alasan
pertama tadi – semaunya, nggak peduli apa kata orang lain. Dan setelah
ditilik-tilik lagi, gedung-gedung ini banyak yang berkesan gagah bagi saya,
kokoh. Enak aja ngelihatnya, mantap. Boleh kan ya menyukai sesuatu hanya karena
alasan dangkal seperti ini?
Patung Brutalist "Apollo Pavilion" oleh Victor Pasmore |
Salah satu gedung Brutalis yang dipelihara dengan baik, Royal National Theatre di London, arsitknya Denys Lasdun |
Ingin rasanya saya tinggal di apartemen ini karena suka sekali dengan bentuknya. Habitat 67 oleh arsitek Moshe Safdie, menjadi landmark ikonik di Montreal. |
Bab yang mengajak kita keliling dunia mengunjungi bangunan-bangunan Brutalis. |
Menggambar Bierpinsel |
Bierpinsel dilihat dari sisi lain |
Bierpinsel, dari sisi lainnya lagi. Penasaran pengen masuk! |
Di Jakarta juga ada beberapa gedung yang gaya arsitekturnya brutalis, bahkan di beberapa karya Andra Matin juga keliatan pengaruh brutalisme. Kalau gue suka ketika garis-garis tegas dan bidang lebar sebuah bangunan brutalis diberi sentuhan tanaman di sana sini, jadinya kombinasi yang unik.
ReplyDeleteah yes, AM emang rada brutalis kayaknya ya. kalo gak salah di suatu wawancara dia pernah bilang salah satu pengaruh arsitekturnya didapat dari Le Corbusier, dan LC ini juga masuk di buku 'How to Love Brutalism'.
DeleteKayak pernah lihat deh kombinasi bidang2 tegas dengan tanaman yg lo bilang gitu di Jakarta, tapi lupa di mana.. Di Gran Rubina yang arah deket Epiwalk ada nggak tuh ya..?
foto2nya bagus. boleh tau pakai kamera apa kak?
ReplyDeleteyg foto buku pake sony alpha nex f3, lainnya pake hp biasa
Delete