Di artikel sebelum ini, saya sudah menceritakan tentang jalan-jalan di Kopenhagen (Copenhagen) dengan tema desain dan arsitektur modern. Sekarang, kita kembali ke masa lalu ibukota Denmark ini.
Pemukiman pertama di Kopenhagen diperkirakan sudah ada sejak 6000 tahun yang lalu, tapi catatan tertulis yang ditemukan baru ada sejak tahun 1043. Hingga sekarang, kota yang bernama asli København ini sudah mengalami beberapa kali kehancuran dan pembangunan kembali akibat perang antara Denmark dengan Swedia, Inggris, dan Jerman, dan juga karena wabah penyakit (waduh, jadi ingat wabah covid-19 yang sedang berlangsung) dan dua kali kebakaran besar. Sejak tahun 1813, ketika Denmark bangkrut dan harus menyerahkan Norwegia pada kekuasaan Swedia, perlahan-lahan Kopenhagen menata kembali kehidupannya.
NYHAVN
Nama Kopenhagen berasal dari kata Købmandshavn yang berarti ‘pelabuhan saudagar’. Kopenhagen berkembang dari area pelabuhan di sepanjang kanal yang menghubungkan laut lepas dengan alun-alun di Kongens Nytorv sejak era Raja Kristian V di abad ke-17. Penggalian kanal ini menggunakan tenaga para tawanan Swedia. Area ini dikenal dengan nama Nyhavn, yang artinya ‘pelabuhan baru’.
Layaknya area pelabuhan pada umumnya, Nyhavn dulu dimeriahi kehidupan para pelaut yang sarat akan bar untuk bermabuk ria dan prostitusi. Lama-kelamaan, kebutuhan perdagangan lewat laut tidak tertampung lagi di Nyhavn karena mulai membutuhkan kapal-kapal besar. Ditambah dengan dibangunnya jembatan-jembatan dan berkembangnya fasilitas transportasi darat sejak Perang Dunia II, Nyhavn pun mulai sepi. Barulah pada dekade 1960an area sepanjang 450 meter ini mulai direvitalisasi. Dan pada tahun 1980, jalan di sisi utara kanal ditutup untuk kendaraan bermotor. Restoran, kafe, bar, dan toko suvenir bermunculan di sana. Hingga kini, Nyhavn menjadi destinasi favorit para wisatawan. Termasuk saya, tentunya.
Bagaimana mungkin saya tidak menyukai Nyhavn? Townhouses setinggi 3-5 lantai di sepanjang jalan dicat warna-warni, menggemaskan sekali! Entah apa gaya arsitekturnya, yang jelas jendela-jendela yang menyembul di atap selalu mengingatkan saya akan khayalan masa kecil gara-gara sering membaca buku dongeng Eropa. Ngomong-ngomong tentang dongeng Eropa, Hans Christian Andersen, salah satu pengarang favorit saya waktu kecil, pernah tinggal di Nyhavn. Salah satu rumah yang pernah ditempatinya dipasangi plakat di depannya.
Beruntung sekali, waktu saya dan Diyan menyusuri Nyhavn, cuaca lagi bagus, cerah dan tidak terlalu dingin. Jalanan khusus pejalan kaki ini ramai dengan turis dari berbagai belahan dunia. Ada yang menikmati bir sambil jalan-jalan, ada yang ngopi sambil duduk-duduk di tepi kanal, ada yang antre naik kapal wisata, ada yang sibuk berfoto. Ketika berpapasan dengan seorang bapak tua yang sedang memegang es krim yang tampaknya lezat, saya spontan bertanya padanya, “Hi, where did you get that ice cream?” Dengan ramah ia memberitahukan tempatnya, dan setelah berterima kasih langsung saya ke sana, yang ternyata hanya beberapa langkah di depan saya.
Tempat itu bernama Rajissimo, toko gelato yang juga menjual churros, soft ice, kopi, dan milkshakes. Tidak pakai pikir panjang, saya langsung memilih gelato dan churros, jajanan ala Spanyol favorit saya. Antreannya cukup panjang dan memenuhi toko yang mungil, untungnya staf bekerja dengan cepat walaupun harus berulang kali menjelaskan menu pada pengunjung dalam bahasa Inggris. Menjilat gelato sambil jalan-jalan dalam temperatur belasan derajat Celcius, diselingi dengan gigitan kriuk sekaligus empuk churros yang dilumuri cokelat, mmmh, saya ingat sekali sore itu saya tak bisa berhenti tersenyum!
KASTELLET
Seusai makan siang di Designmuseum Danmark, saya memutuskan untuk menunggu waktu ‘kencan’ dengan Diyan sambil melihat-lihat Kastellet yang jaraknya hanya sekitar 300 meter dari museum. Kompleks benteng dari abad ke-17 ini berlokasi di pesisir, didirikan oleh Raja Kristian IV sebagai perlindungan dari serangan negara lain, seperti Swedia.
Sampai sekarang, benteng segi lima ini masih digunakan untuk kegiatan-kegiatan militer. Publik, termasuk turis, juga bebas masuk area Kastellet untuk sekadar melihat-lihat, jalan-jalan, dan berolahraga.
Sebelumnya, saya tidak ada rencana untuk ke Kastellet, jadi saya cuma mengikuti arahan Google Maps serta sekilas keterangannya di Wikipedia. Permukaan Kastellet di bawah permukaan jalan. Ketika menuruni tangga, terkesima sekali ketika saya melihat parit lebar, menyerupai sungai, di luar gerbang masuk yang dihubungi jembatan. Persis seperti kastil-kastil di komik Belgia macam Johan & Pirlouit!
Tidak ada loket karcis atau apapun, pengunjung bebas masuk, jalan kaki maupun naik kendaraan. Gerbang yang saya lewati ini adalah South Gate. Di dalam, beberapa bangunan panjang bercat merah berjejer, yang belakangan saya tahu ternyata itu barak. Lalu ada beberapa bangunan lain berwarna kuning, yang ternyata adalah Commander’s House, dan di seberangnya gereja, juga bercat kuning. Dan di belakang gereja dulunya merupakan penjara. Ada beberapa bangunan lagi, termasuk Powder House, yaitu rumah kecil yang dulu berfungsi sebagai tempat penyimpanan mesiu.
Sebelum keluar, saya naik ke permukaan yang lebih tinggi, di jalur orang lari sore. Sempat dimintai memotret turis lain di depan kincir angin bergaya Belanda, kemudian saya duduk di bangku taman. Sambil mengaso, saya melamun, alangkah senangnya tinggal di kota seperti Kopenhagen. Taman tersedia di mana-mana, gedung tua terawat dan gedung baru banyak yang keren, transportasi mudah (saya ke mana-mana naik bus dan Metro yang tepat waktu dan tak menemukan macet), desain dan seni tidak dianaktirikan, udara pun terasa segar dengan langit biru saat tidak hujan. Paling yang kurang bagi saya adalah temperaturnya bisa sangat dingin, sehingga rasanya mau pipis melulu.
Lalu perjalanan saya lanjutkan ke bagian lain kota Kopenhagen. Kencan hygge dengan Diyan telah menanti.
gila keren banget. jadi pengen kesana
ReplyDeletecantik cantik banget fotonyaaa
ReplyDeletemakasih yaa.. tempatnya juga emang udah cantik sih
Delete