Pandemi, jalan-jalan di tempat. |
Sudah tiga bulan lebih kehidupan terdampak oleh virus COVID-19. Baru sekarang saya merasa perlu numpahin uneg-uneg di sini. Sebelum ini, palingan sekali di buku jurnal. Sudah banyak orang yang menuliskan kegelisahan mereka karena aktivitasnya terganggu atau kehidupannya jadi lebih susah selama pandemi. Namun bukan itu yang saya tuliskan di jurnal maupun di sini, melainkan lebih tentang kekhawatiran dan keheranan saya melihat kelakuan banyak orang dalam menghadapi situasi ini.
Semua orang yang sadar, waras, dan nggak tinggal sendirian di gua antah-berantah mestinya tahu bahwa virus COVID-19 mengharuskan kita meminimalkan kontak antar manusia, alias social distancing ataupun physical distancing. Dan ini menyebabkan banyak kegiatan harus berhenti atau berubah total demi menghindari penularan virus dan korban jiwa yang lebih banyak lagi. Saya nggak nyebutin angka ya di sini, biar itu dicari di media berita saja.
Lalu kampanye #dirumahaja pun tersebar. Kita semua diimbau, kalau tidak dipaksa, untuk seminimal mungkin keluar rumah, berinteraksi atau sekadar berpapasan dengan orang lain. Para extrovert merasa tersiksa harus diam di rumah saja dan nggak ketemu siapa-siapa. Para introvert awalnya merasa damai karena nggak harus ketemu banyak orang, tapi lama-lama mulai mengeluh juga.
Ada yang memang butuh ketemu manusia lain, ada yang karena bosan saja. Semua ini saya lihat di konten media sosial maupun curhatan langsung dari teman-teman.Terus terang saya nggak bisa relate dengan yang bosan karena saya punya banyak hobi yang cukup dilakukan sendiri di rumah, selain pekerjaan rumah mulai dari cuci piring sampai ngasih makan kucing. Yang saya kangen hanyalah berenang. Sepertinya saya lebih 'anak rumahan' dari yang saya kira. Untuk yang kesepian karena hidup sendirian, saya bisa bayangkan ini memang berat. Kepuasan dari pertemuan fisik tidak tergantikan oleh video call. Dan untuk yang tempat tinggalnya memang dirasa kurang nyaman (bisa karena panas, sempit, tidak akur dengan orang serumah, dll), saya juga bisa mengerti adanya kebutuhan untuk keluar rumah terus.
Keahlian yang dipelajari sejak 2 minggu sebelum pandemi: memasak. |
Imbauan untuk di rumah aja juga berpengaruh pada pekerjaan dan penghidupan. Ada yang pekerjaannya berjalan lancar walaupun harus WFH (Work From Home), ada juga yang kehilangan banyak proyek, bahkan ada yang terpaksa kena PHK. Keluhan demi keluhan bermunculan. Nasihat keuangan jadi makin populer, bahkan ada yang sampai dinyinyirin. Tudingan semacam ‘kerja nggak becus’ terhadap pemerintah dan Kementerian Kesehatan terus bergulir. Empati pada tenaga kesehatan semakin tinggi, seiring dengan tersebarnya opini bahwa semua ini adalah hoax dan kolusi dari WHO belaka. Saling menyalahkan antar negara juga terjadi, dan tentunya China menjadi tertuduh utama kekacauan ini, dan ungkapan-ungkapan rasis pun berkumandang.
Begitulah kira-kira garis besar runutan keadaan yang ditimbulkan gara-gara virus yang sampai sekarang belum ketemu vaksin penangkalnya. Beberapa negara sudah melewati masa krisisnya, seperti Jerman, New Zealand, dan Vietnam. Lumayan bikin iri karena penanganan krisis mereka jauh lebih baik daripada di sini, terlepas bahwa ada banyak faktor yang memengaruhi.
Di Indonesia diberlakukan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar), yang intinya ya social dan physical distancing itu tadi. Sekitar 2 minggu lalu PSBB berakhir, tapi belum sepenuhnya. Kalau nggak salah, gedung kantor baru boleh diisi 50% dari biasanya, begitu juga restoran. Memang, roda ekonomi harus tetap berputar. Apalagi banyak orang yang pendapatannya turun drastis akibat nggak bisa ke mana-mana, dan negara nggak memberikan uang (yang cukup) untuk menutupi penghasilan yang hilang seperti di beberapa negara maju. Tapi berakhirnya PSBB ini juga sekaligus mengkhawatirkan karena angka penularan yang belum turun-turun amat. Dan melihat kelakuan sebagian warga +62 yang masih acuh tak acuh selama PSBB, saya khawatir akan lebih banyak lagi orang yang cuek kalau PSBB dinyatakan berakhir. Khawatir akan bablas.
Suasana kafe rooftop yang saya lihat dari stasiun MRT H. Nawi. |
Kenyataannya? Persis seperti dugaan. Begitu tempat-tempat komersil dibuka, makin banyak orang yang kelakuannya seolah-olah nggak pernah ada virus yang mengancam. Saat GBK dibuka kembali untuk umum, sempat terjadi ledakan pengunjung yang nggak kira-kira, dan videonya pun viral. Entahlah mereka semua ke sana benar-benar ingin berolahraga, bergaul, atau nyoba sepeda baru saja sambil foto-foto buat ngisi sosmed. Apapun tujuannya, caranya itu bikin emosi.
Tiap saya pergi stray cat feeding naik motor dengan Diyan, saya lihat makin banyak kawanan pesepeda kagetan di Jalan Sudirman, Thamrin, dan Blora. “Kagetan” karena mendadak banyak banget yang main sepeda di jalan raya dengan kelakuan seperti main sepeda di kompleks perumahan; reckless. Nggak pakai helm, berkendara di luar lajur yang sudah disediakan, bergerombol dan sambil ngobrol, diklakson pun kadang nggak mau minggir. Padahal jalanan sudah diramaikan dengan mobil dan motor. Entah kenapa sepeda jadi laris manis sejak PSBB. Apa mereka mencari hiburan selain traveling dan main ke mall ya? Tapi, dengan membahayakan nyawa sendiri dan orang lain? Dan saat mereka istirahat, duduk-duduk di trotoar dalam grup yang kadang lebih dari 5 orang, nggak semua lho pakai masker.
Bukan hanya kelakuan gerombolan pesepeda yang bikin emosi. Banyak orang lain, mulai dari kelompok ABG pencari konten foto IG sampai bapak-bapak pekerja, yang suka kongko di pinggir jalan tanpa jaga jarak dan tanpa pakai masker. Konten sosmed beberapa orang yang saya ikuti pun menunjukkan mereka sudah mulai dine-in di kafe maupun restoran. Dari yang terlihat sih, nggak semuanya menerapkan prosedur social distancing. Makan di meja ramai-ramai tanpa jarak antar orang, sambil ngobrol dan ngakak-ngakak suka cita. Langsung kebayang droplet-droplet dari hidung dan mulut mereka yang muncrat ke muka teman di depannya atau ke piring teman di sebelahnya. Uh, ngeri.
Restoran/bakery Pand'or di Jl. Wijaya cukup ketat dalam menerapkan aturan distancing. |
Tak bisa ditolak, saya pun sesekali harus pergi ke toko bahan bangunan untuk mencari keperluan renovasi rumah. Beberapa toko menerapkan prosedur yang bagus, seperti menyediakan wastafel atau hand sanitizer di depan toko, memeriksa suhu tubuh pengunjung, dan semua stafnya memakai masker. Sayangnya, ada juga toko-toko yang lalai soal prosedur ini. Toko-toko yang begini sebaiknya dihindari atau cukup dimasuki sekejap saja kalau memang perlu-perlu amat.
Istilah ‘new normal’ baru saja mulai marak, sudah ada yang mencaci istilah ini hanya karena bosan mendengarnya. Padahal kan yang penting seperti apa implementasi ‘new normal’ ini. Ia jadi sering disebut mungkin karena memang perlu dibiasakan? Tapi ada yang lebih mengkhawatirkan lagi, yaitu kaum yang menganggap ‘new normal’ artinya kembali ke cara hidup sebelum pandemi, yaitu kehidupan normal yang semestinya. Lha, padahal kan pandeminya aja belum kelar! Kok udah mau kembali ke kehidupan seperti dulu lagi? Di sini saya gagal paham.
Jalan pagi di rute sepi. |
Pemikiran kita sama, Vira. Sepertinya sebagian besar orang menjadi cuek dan abai terhadap Covid-19. Mungkin mereka melihat penambahan jumlah kasus positif yang angkanya konsisten di atas 1000 dalam beberapa minggu terakhir ini sebagai "new normal". Tapi di balik data statistik itu, banyak pekerja medis yang setiap hari harus berhadapan dengan virus ini, juga rumah sakit yang kewalahan karena jumlah pasien positif Covid-19 terus bertambah, juga mereka yang bekerja di pemakaman yang menjadi lebih sibuk. Belum lagi orang-orang yang harus kehilangan pekerjaan, atau kehilangan orang tercinta. Menjalani hidup seperti tidak ada apa-apa, seolah-olah mereka kebal dari virus ini, buat saya sungguh suatu bentuk disrespect terhadap orang-orang yang tadi saya sebut di atas. Saya juga gak habis pikir sama tempat-tempat usaha, termasuk restoran, yang tidak menerapkan aturan social distancing.
ReplyDeleteAku kok setuju semua yang kak Vira bilang di sini. Lha wong pandemi "fase pertama" aja belum kelar kok sudah seakan2 kelar dan everything back to normal. Aku paham betul banyak orang yang ga bisa WFH karena suasana rumah gak mendukung, beberapa temanku mengalami ini. Tapi ada juga yang suasana rumah oke, dan ga ada alasan untuk ga WFH tapi tetep aja keluar dengan alasan "bosan". Aku selama ini ga pernah dine in, sesekali tetap beli makanan di luar tapi takeaway. Selain itu, aku juga pilih2 tempat, seperti kak Vira bilang, tempat2 yang protokol kesehatannya meragukan ga akan aku pilih.
ReplyDeleteastaga Aggy, aku tuh baru ngeh ada komen2 lumayan banyak di blog iniiiii gara2 kebanyakan spam! hahhaahaha.. maap yaa, baru baca komen kamuuu. huhu, udah setahun kemudian nih, situasinya belum banyak berubah, abainya orang2 malah mungkin makin menjadi2 :(
Delete