Jun 12, 2021

DUNE, Review Super Subyektif

 


Akhirnya kelaaaarrr!


Gue memang pembaca yang lambat, mudah teralihkan, mudah ngantuk kalau lihat teks banyak, dan bukan penggemar fiksi ilmiah. Eeehh kok ya gue nekat baca "Dune" karya Frank Herbert, novel fiksi ilmiah yang tebalnya kayak bantal! Ini semua gara-gara Timothee Chalamet! 

Tahun lalu gue lihat trailer film Dune garapan sutradara Dennis Villeneuve, yang dibintangi oleh Timothee Chalamet, Josh Brolin, Zendaya, dan lain-lain. Hm, menarik, karena ada Chalamet. Lalu, gue dapat informasi bahwa film ini diangkat dari novel berjudul sama, yang digadang-gadang sebagai novel fiksi ilmiah terbaik (pada masanya), yang bahkan menginspirasi penciptaan Star Wars. Maka, penasaranlah gue sama buku ini, walaupun seumur-umur gue nggak pernah peduli sama apapun yang berbau Star Wars, dan fiksi ilmiah yang pernah gue baca hanyalah beberapa judul karya Michael Crichton.

Jadi, Dune ini tentang apa sih?


Garis besar ceritanya kurang lebih seperti ini (monmaap kalau ada yang gue salah tangkap):

Keluarga Atreides yang berkuasa di Planet Caladan yand subur diperintahkan oleh sang Padishah Emperor untuk mengambil alih Planet Arrakis yang gersang dan punya spesies buas penunggu gurun. Keluarga Harkonnen, yang tadinya berkuasa di Arrakis, nggak terima, lalu berusaha mengusir atau menghabiskan keluarga Atreides. Dalam peperangan ini, terlibat pula kaum Fremen, penduduk asli Planet Arrakis, dan Sardaukar, pasukan elite militer yang setia pada Emperor dan Harkonnen. 

Planet Arrakis, yang adalah Planet Dune itu sendiri, memiliki sumber rempah 'melange', yang sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia secara biologis maupun mental. Planet ini juga sangat miskin akan air, yang bahkan menjadi 'mata uang' di sana. Bayangkan, kalau seseorang mati terbunuh, si pembunuhnya bahkan 'menyedot' air dari tubuh orang itu demi menambah 'kekayaan'. Ketakutan akan kehilangan melange dan air inilah yang menjadi faktor utama perlawanan Harkonnen dan para pengikutnya. 

Tokoh-tokoh utamanya antara lain:

Duke Leto Atreides, pemimpin klan Atreides di awal cerita. 

Lady Jessica, selir dari Leto. Dia nggak dijadikan istri atau permaisuri karena alasan politik (sa ae nih Leto! hehe.. tapi iya sih, Leto memang diceritakan nggak punya pasangan selain Jessica). Dan dia adalah seorang Bene Gesserit, semacam sekte perempuan yang dilatih sehingga punya kemampuan super, bahkan bisa memilih jenis kelamin anak yang dikandungnya. Jessica disuruh melahirkan anak perempuan oleh Reverend Mother ('bos'nya Bene Gesserit), tapi dia malah memilih untuk punya anak laki, dan inilah salah satu sumber konflik dalam cerita. 

Paul Atreides, anak dari Leto dan Jessica. Nah, dia nih yang di film diperankan oleh Chalamet! Paul ini anak mama banget, alias berhasil dididik dengan cara Bene Gesserit yang akhirnya membuat Jessica bangga sekaligus rada ngeri. Dia kemudian punya nama lain yaitu Paul Mu'adib dan Usul. 

Vladimir Harkonnen atau The Baron, pemimpin Harkonnen yang serakah dan gampang aja nyuruh anak buahnya membunuh orang yang dia nggak suka. 

Gurney Hallack, pengikut setia Atreides yang mencurigai Lady Jessica sebagai pengkhianat. 

Chani, perempuan jagoan dari kaum Fremen yang menjadi selir Paul. Lagi-lagi nggak dijadikan istri karena alasan politik, nasibnya mirip Jessica dalam hal ini. 



Terus, bukunya bagus nggak? 

Buat gue, nggak. Tapi, ya ini subyektif banget. Gue bilang nggak bagus karena gue nggak menikmati membacanya. Tapi gue coba jabarkan lebih jauh ya. 

Gue berjuang banget baca Dune sampai selesai. OH EM JI! 6 bulan baru kelar! Selain memang karena bukunya tebal, juga membosankan. Atau karena panjang jadi gue bosan ya? Walaupun bukan milenial apalagi Gen Z, attention span gue memang rada pendek sih. 

Gue merasa ceritanya kadang bergulir lambat, kadang cepat. Tokoh-tokohnya nggak ada yang bikin simpatik, sekadar baik atau jahat aja. Tapi gue akui, perkembangan karakter Paul dari awal sampai akhir cukup menarik.

Penceritaan buku ini menggunakan sudut pandang orang ketiga sebagai 'tuhan'nya. Seriiing banget ada monolog dalam hati yang mengingatkan gue pada adegan-adegan sinetron yang orangnya mikir sambil ngomong sendiri. Jadi, rada norak sih buat gue. Mungkin nggak ya, monolog-monolog dalam hati itu digambarkan dengan mimik wajah, gerak-gerik, atau tindakan aja?

Daaaan yang bikin gue sebel juga adalah terlalu banyak nama orang dan nama tempat yang aneh untuk diingat. Si Paul aja punya 3 nama di situ. Pusing gue! Tapi kalo ini, apa gue yang udah perlu minum ginkgo biloba?

Ceritanya sendiri, ya biasalaaah.. perebutan kekuasaan, ada pengkhianatnya, ada hasut-menghasut, ada pernikahan politik, dsb. Cerita sih bisa aja biasa dan ketebak akhirnya, tapi kalau dikemas dengan menarik ya jadi menarik.

Tapi di luar semua itu, buku Dune ini diterbitkan pada tahun 1965. Mungkin di tahun segitu cerita seperti Dune masih langka atau bahkan mutakhir dan sangat imajinatif. Walau masih ada perdebatan apakah Dune tergolong fiksi ilmiah atau fantasi, buku ini menerima banyak pujian karena dianggap sukses menyatukan aspek sains, ekologi, psikologi, politik, sejarah, hingga puisi. 

Ya, kalau dibahas lebih dalam dan dikupas satu-persatu elemennya, bisa jadi Dune terkesan lebih menarik bagi gue. Ada juga ulasan buku ini yang bilang bahwa Dune memang bukan bacaan ringan. Jadi, apa perlu gue baca ulang agar lebih menikmatinya? 

*melirik ke tumpukan buku yang belum dibaca di rak buku*




2 comments:

  1. Kayaknya kita mirip deh, gue tipe yang kalo baca buku tebel gampang ke-distract, apalagi kalau jalan ceritanya lambat dan cenderung membosankan. Jadinya malah kurang menikmati, dan jadinya nyelesaiin baca buku for the sake of selesai, tamat! Pas waktu liat trailer Dune juga jujur tertarik banget sama universenya. Cuma pas liat bukunya jadi mikir, hmmm, bisa gak ya gue baca bukunya? Lol. Dan berkat postingnya ini gue jadi semakin yakin, oke skip bukunya, langsung nonton filmnya aja.

    ReplyDelete
    Replies
    1. hahahaha... keputusan lo gue dukung Bam, bijak itu :))

      Delete